بسم الله الرحمن
الرحيم
Menurut
Ishaq, dari Ibnu Abbas r.a. –seperti tersebut dalam al Bidayah (3/123)
– dia berkata: Ketika pemuka-pemuka kaum Quraisy berjalan menuju rumah Abu
Thalib untuk berbicara kepadanya, mereka terdiri dari ‘Utbah bin Rabi’ah,
Syaibah bin Rabi’ah, Abu Jahal bin Hisyam, Umayyah bin Khalaf, dan Abu Sufyan
bin Harb yang merupakan orang-orang terhormat dari kalangan kaum Quraisy.
Mereka berkata, “Wahai Abu Thalib, sesungguhnya engkau mengetahui kedudukanmu
di sisi kami. Maut hampir menjemputmu pulang. Kami sangat mengkhawatirkan
kehormatanmu di kalangan kami. Engkau mengetahui apa yang sedang terjadi antara
kami dengan keponakanmu (berkaitan dengan gakwah Rasulullah saw.). Panggillah
ia dan ambillah janji darinya agar ia mau mencegah dirinya dari mencela kami
dan kami pun akan berhenti mengganggunya supaya ia membiarkan kami dengan agama
kami dan kami pun akan membiarkannya dengan agamanya.”
Kemudian Abu
Thalib mengutus seseorang untuk memangggil Rasulullah saw.. Baginda saw.
datang untuk menghadap pamannya. Abu Thalib berkata, “Wahai keponakannku,
mereka ssemua adalah pemuka-pemuka dari kalanganmu, telah siap mengadakan
perjanjian denganmu.”
Rasulullah saw.
bersabda, “Baiklah, hanya sebuah kalimat yang aku mau kalian mengatakannya.
Seluruh bangsa Arab dan orang-orang Ajam akan tunduk kepada kalian disebabkan
oleh kalimat itu.”
Abu Jahal
berkata, “Baiklah, demi bapakmu, bahkan walau sepuluh kalimat pun.”
Rasulullah saw.
bersabda, “Katakanlah olehmu Laa
Ilaaha Illallaah dan
tinggalkan semua sesembahan selain Dia.”
Mereka pun
bertepuk tangan sambil berkata, “Wahai Muhammad, apakah engkau akan menjadikan
tuhan-tuhan yang banyak itu menjadi satu tuhan saja? Sesungguhnya ini adalah sesuatu
yang aneh.”
Kemudian
mereka berkata di antara sesama mereka, “Demi Allah, sesungguhnya ia tidak akan
memberi kalian sedikit pun dari yang kalian inginkan (perjanjian atau
kompromi), oleh sebab itu tinggalkanlah ia dan tetaplah dengan agama nenek moyang
kalian sehingga Tuhan memutuskan di antara kalian dengannya.”
Kemudian
mereka pun berpisah.
Perawi
mengatakan bahwa Abu Thalib berkata, “Demi Allah, keponakanku, kulihat engkau
meminta sesuatu kepada mereka yang melampaui batas.”
Rasulullah saw.
merasa optimis pamannya dapat mengucapkan kalimat syahadat. Itulah yang
menyebabkan Rasulullah saw. bersabda, “Wahai paman, Jika paman
mengucapkannya, maka aku akan memohonkan untuk paman syafaat pada hari kiamat.”
Melihat
semangat keponakannya, Abu Thalib berkata, “Wahai keponakanku, demi Allah, jika
bukan karena takut cacian (kaum Quraisy) kepadamu dan keluarga ayahmu
sepeninggalku, dan anggapan kaum Quraisy bahwa aku mengucapkan kalimat itu
karena takut mati, pasti aku telah mengucapkannya. Tidaklah aku mengucapkannya
melaikan untuk menggembirakanmu dengannya.”
Kemudian Ibnu
Abbas menyebutkan hadits itu selengkapnya, dan di dalam sanadnya ada seorang
perawi yang masih samar, tidak diketahui keadaannya.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnul Musayyab
dari ayahnya, bahwa ketika Abu Thalib sedang sakaratul maut, Nabi saw.
masuk dan menemuinya. Abu Jahal berada di samping Abu Thalib ketika itu. Nabi saw.
bersabda, “Wahai paman, ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah dan aku akan membela paman dengannya
di hadapan Allah nanti.”
Abu Jahal dab Abdullah bin Umayyah berkata, “Hai Abu
Thalib, apakah engkau akan meninggalkan agama Abdul Muththalib?”
Mereka berdua terus mendesak Abu Thalib dengan
kata-kata itu hingga kata-kata terakhir Abu Thalib adalah: “Aku tetap pada
Agama Abdul Muththalib. Rasulullah saw. bersabda, “Saya akan memohon
ampunan untukmu selama saya tidak dilarang melakukan hal itu.”
Peristiwa itulah yang menyebabkan Allah swt. Menurunkan
wahyu:
مَاكَانَ
لِلنَّبِيِّ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْآ اَنْ يَّسْتَغْفِرُوْالِلْمُشْرِكِيْنَ وَلَوْكَانُوْا
اُولِى قُرْبٰى مِنْ ۢبَعْدِ مَاتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُمْ اَصْحَابُ الْجَحِيْمِ
“Tiadalah
sepatutunya bagi nabi dan orang-orang yang beriman meminta ampun (kepada Allah)
bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum
kerabat(nya), setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu adalah
penghuni neraka Jahanam.” (Qs. At Taubah: 113)
Juga diwahyukan ayat sebagai berikut:
اِنَّكَ
لَاتَهْدِيْ مَنْ اَحْبَبْتَ...
“Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat
memberi petunjuk kepada orang engkau kasihi…” (Qs.
Al Qashash: 56)
Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dengan sanad lain
dari bapak Ibnul Musayyab hampir sama seperti itu, dan Ibnu Abbas berkata di
dalamnya: Maka Rasulullah saw. terus mendakwahi pamannya dan mereka
berdua (Abu Jahal dan Abdullah) terus mendesak Abu Thalib sehingga pada akhir
hayatnya Abu Thalib menyatakan, “Aku tetap memeluk agama Abdul Muththalib.” Dan
tidak mau mengucapkan Laa
Ilaaha Illallaah. Rasulullah
saw. bersabda, “Aku akan minta ampunan untukmu selama aku tidak dilarang
melakukan hal itu.” Maka Allah swt. Menurunkan kedua ayat di atas.
Demikian juga yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
Muslim, Nasa’I dan Tirmidzi dari Abu Hurairah r.a., katanya: Ketika Abu
Thalib sedang sakaratul maut, Rasulullah saw. bersabda, “Wahai
paman, ucapkanlah Laa
Ilaaha Illallaah dan aku akan bersaksi untukmu pada hari
kiamat.”
Kata Abu Thalib, “Seandainya kaum Quraisy tidak
mengejekku dengan berkata, Abu Thalib mengucapkan kalimat itu karena takut
mati, maka pasti aku akan menyenangkan hatimu.” Karena itu Allah swt.
Menurunkan surat al Qashash ayat 56 yang artinya “Sungguh, engkau(Muhammad)
tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah
memberi petunjuk kepada orang yang Dia Kehendaki, dan Dia lebih Mengetahui
orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (Al Bidayah [3/124])
Tidak ada komentar:
Posting Komentar