Pages

Jumat, 13 September 2013

Beberapa Kisah Para Sahabat Perihal Meminta Izin

 بسم الله الرحمن الرحيم

Dikeluarkan oleh al Baihaqi dari Amir bin Abdullah bahwa hamba perempuannya pergi menemui Umar al Khaththab r.a. bersama dengan anak perempuan az Zubair. Ia berkata, “Bolehkah saya masuk?”

Umar r.a. berkata, “Tidak.”

Hamba perempuan itu pun pulang setelah mendengar jawaban Umar.

Kemudian Umar r.a. kepada hambanya, “Panggillah hambap perempuan itu dan katakan kepadanya agar mengucapkan, ‘Assalamu’alayka! Bolehkah saya masuk?” (al Kanz)

Dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad dari Aslam, katanya: Umar r.a. berkata kepadaku, “Jangan izinkan orang menemuiku dan jangan mengambil apa-apa dari mereka.”
Pada suatu hari, ia melihatku memakai sehelai pakaian baru, lalu ia bertanya kepadaku, “Dari mana kamu peroleh baju itu?”

Aku menjawab, “Ubaidullah bin Umar telah menghadiahkannya kepadaku.”

Umar pun berkata, “Jika diberi oleh Ubaidullah, maka terimalah tetapi jika diberi oleh orang selain darinya, jangan kamu terima.”

Aslam berkata: “Az Zubair datang dan aku berdiri di pintu. Ia telah meminta izin unuk masuk. Aku pun berkata kepadanya, “Amirul mukminin sedang sibuk sekarang.”

Ia pun mengangkat tangannya lalu memukul belakang telingaku satu kali sehingga aku menjerit kesakitan. Aku pun masuk menemui Umar, lalu Umar bertanya kepadaku, “Apa yang telah terjadi padamu?”

Aku menjawab, “Az Zubair  memukulku.” Lalu aku menerangkan kepadanya mengenai yang telah terjadi di antara aku dan Az Zubair.

Umar r.a. berkata, “Demi Allah! Aku akan menemuinya.”

Umar kemudian menyuruhku memanggil az Zubair agar bertemu dengannya. Az Zubair pun masuk, lalu Umar r.a. bertanya, “Mengapa kamu memukul hamba ini?”

Az Zubair berkata, “Ia telah menghalangiku untuk bertemu denganmu.”

Maka Umar r.a. pun berkata, “Benarkah ia berkata kepadamu, ‘Bersabarlah sebentar karena Amirul mukminin sedang sibuk?’. Mengapa kamu tidak menerima alas an yang ia katakan? Demi Allah! Sesungguhnya apabila binatang liar diciderai oleh binatang liar, maka ia akan dimakan oleh binatang liar itu.” Maksudnya, apabila kamu (sahabat nabi yang unggul) turut memukul hamba ini, maka orang awam akan merasa berani untuk memukulnya, menghina dan menyakitinya. Karena perbuatan orang khusus biasanya diikuti oleh orang umum. (al Kanz)

Dikeluarkan oleh al Bukhari dalam al Adab al Mufrid dari Zaid bin Tsabit bahwa Umar bin Khaththab r.a. datang menemuinya pada suatu hari. Umar r.a. meminta izin untuk menemuinya, lalu ia mengizinkannya. Ketika itu tangan hamba perempuannya berada di atas kepala Zaid, sedang menyisir rambut Zaid.

Umar berkata, “Biarkanlah hamba perempuan itu menyisir rambutmu.”

Zaid berkata, “Ya Amirul mukminin! Jika saja engkau mengutus seseorang untuk memanggilku, niscaya aku akan datang menemuimu.”

Umar r.a. berkata, “Sesungguhnya aku berhajat untuk bertemu denganmu (karena itu akulah yang harus mendatangimu).”

Dikeluarkan oleh ath Thabrani dari seorang lelaki. Lelaki itu berkata, “Kami telah meminta izin dari Abdullah bin Mas’ud r.a. untuk masuk menemuinya setelah shalat shubuh, lalu ia mengizinkan kami menemuinya. Ia pun meletakan sehelai kain pada istrinya seraya berkata kepadanya, “Aku tidak suka membuatmu menunggu-nunggu.”

Dari Abu Musa bin Thalhah r.a., katanya: Aku masuk menemui ibuku bersama dengan bapakku. Ketika ia masuk ke dalam, aku pun turut mengikutinya. Ia menahanku dengan tangannya di dadaku lalu mendudukan aku di atas punggungnya. Kemudian ia berkata, “Apakah engkau ingin masuk tanpa izinku?”

Sanadnya Shahih oleh al Hafizh dalam al Fath

Dikeluarkan juga oleh al Bukhari dari Muslim bin Nazir, katanya: Seorang lelaki masuk menemui Huzaifah r.a.. lelaki itu berkata, “Bolehkah aku masuk?”

Huzaifah berkata, “Sesungguhnya matamu telah masuk, sebelum punggungmu masuk?”

Lelaki itu berkata, “Apakah aku juga harus meminta izin dari ibuku apabila aku ingin masuk menemuinya?”

Huzaifah berkata, “Sekiranya kamu tidak meminta izin untuk masuk, mungkin akan terpandang olehmu sesuatu yang tidak menggembirakan kamu.”

Dikeluarkan oleh Ahmad dari Abu Sawid al Abdi, katanya: Kami datang menemui Ibnu Umar lalu duduk di muka pintu rumahnya agar kami diizinkan masuk. Namun izin itu belum aku peroleh juga, Aku pun mengintainya melalui lubang pintu itu. Maka terpandang olehku yang ada di dalamnya.

Ibnu Umar sedang berkeliling ketika aku sedang mengintip itu. Ketika ia mengizinkan kami masuk, maka kami pun masuk dan duduk di dalamnya.

Ibnu Umar berkata, “Siapakah di antara kalian yang barusan mengintip?”

Aku menjawab, “Aku.”

Ibnu Umar berkata lagi, “Apa yang menghalalkan kamu untuk mengintip rumahku?”

Aku berkata, “Kami terlalu lama mendapatkan izin masuk, lalu aku mengintip dari lubang pintu itu secara tak sengaja.”

Ibnu Umar telah bertanya mengenai berbagai hal. Aku berkata, “Ya ayahnya Abdur Rahman! Apakah pendapatmu mengenai Jihad?”

Ibnu Umar, menjawab, “Barang siapa yang berjihad, maka sesungguhnya ia berjihad untuk dirinya sendiri.”

Dikutip dari Kitab Hayatush Shahabah Terjemahan Jilid 2 hal. 562-564, Penerbit Pustaka Ramadhan

Kamis, 12 September 2013

Persaudaraan Antara Kaum Muhajirin dan Kaum Anshar


  بسم الله الرحمن الرحيم

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Anas r.a.: Bahwa Abdur Rahman bin Auf telah tiba di Madinah. Kemudian Rasulullah saw. mempersaudarakannya dengan Sa’d bin Rabi’ al Anshari r.a..

Sa’d berkata kepadanya, “Wahai Saudaraku, aku adalah orang yang paling banyak harta da Madinah, maka pilihlah olehmu separuh hartaku dan ambillah. Aku juga mempunyai dua orang istri, lihatlah siapa di antara mereka berdua yang engkau sukai, maka aku akan menceraikannya (dan menikahkannya denganmu).”

Abdur Rahman berkata, “Semoga Allah memberkatimu, dalam harta dan keluargamu. Tunjukkan kepadaku arah ke pasar.”

Maka ia pun menunjukkan kepada Abdur Rahman jalan menuju pasar. Sesudah itu, Abdur Rahman melakukan jual beli dan memperoleh keuntungan. Ia kembali dengan membawa sedikit keju dan minyak samim. Lalu Abdur Rahman menetap di sana selama yang dikehendaki oleh Allah swt..

Suatu ketika Abdur Rahman datang dengan pakaian yang masih wangi akibat wangi za’faran. Rasulullah saw. bertanya kepadanya, “Ada apa denganmu, harum begitu?”

Jawabnya, “Wahai Rasulullah! Aku telah menikahi seorang wanita.”

Tanya Rasulullah saw. lagi, “Apa yang engkau berikan sebagai mahar untuknya?”

Jawab Abdur Rahman, “Emas seberat biji kurma.”

Sabda Rasulullah saw., “Buatlah walimah walaupun dengan menyembelih seekor kambing saja.”

Kata Abdur Rahman, “Sungguh, aku melihat diriku sendiri, seandainya saja aku mengangkat sebuah batu, niscaya aku berharap untuk memperoleh emas atau perak.”1

Demikian tercantum dalam kitab al Bidayah (Juz 3, hal. 228). Asy Syaikhan juga meriwayatkannya dari Anas r.a., juga al Bukhari dari hadits Abdurrahman bin Auf r.a. – seperti tercantum dalam al Ishabah (Juz 2, hal. 26); dan Ibnu Sa’d (Juz 3 hal. 89) dari Anas r.a.

Diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu Abbas r.hum., katanya: Ketika orang-orang Muhajirin baru tiba di Madinah, orang-orang Muhajirin biasa mewarisi (harta) orang-orang Anshar, walaupun di antara mereka tidak ada hubungan kekerabatan sedikit pun, hanya karena mereka telah dipersaudarakan oleh Rasulullah saw.

Ketika turun ayat di bawah ini:

وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّاتَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْاَقْرَبُوْنَ...

Dan untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan) Kami telah menetapkan para ahli waris atas apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan karib kerabatnya…” (Qs. An Nisa’: 33)

Maka hal itu dihapuskan. Demikian yang terdapatdalam riwayat ini, bahwa yang menghapus hukum saling mewarisi di antara sesama teman sekutu adalah ayat ini. Sebagai tambahan, bahwa  yang menghapuskan adalah turunnya ayat:

وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْامِنۢ بَعْدُ وَهَاجَرُوْا وَجَاهَدُوْامَعَكُمْ فَاُولٰٓئِكَ مِنْكُمْۗ وَاُولُوْا الْاَرْحَامِ بَعْضُهُمْ اَوْلٰى بِبَعْضٍ فِي كِتٰبِ اللهِ ۗ اِنَّ اللهَ بِكُلِّ شَيْءٍعَلِيْمٌ

Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) menurut kitab Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs. Al Anfal: 75)

Al Hafizh mengatakan bahwa ayat inilah yang bisa dijadikan sandaran.

Dan bisa jadi penghapusan hukum tersebut terjadi dua kali: Yang pertama, di mana muaqid (orang yang diberi janji) saja yang mewarisi, dan para kerabat tidak.

Kemudian turun ayat: { Dan untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan)…}; kemudian mereka semua bisa mewarisi bersama-sama.

Dan dalam hal inilah, hadits Ibnu Abbas r.a. dimunculkan. Kemudian ayat al Anfal menghapus hal itu dan hak warisan dikhususkan untuk kerabat saja, sedang untuk muaqid hanya mendapat hak pertolongan dan pemberian, serta yang semisal itu. Dalam hal inilah, riwayat-riwayat yant tersisa muncul. Menurut riwayat Ahmad, dari hadits Amr bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya r.a., semisal hadits itu, seperti tercantum dalam Fath al Bari (Juz 7, hal. 191).

Ibnu Sa’d telah menceritakan dengan beberapa sanad al Waqidi yang sampai kepada segolongan Tabi’in, di mana mereka berkata: Ketika Rasulullah saw. sampai di Madinah, Rasulullah saw. telah mempersaudarakan di antara sesama Muhajirin, dan mempersaudarakan sahabat Anshar dengan sahabat Muhajirin agar mereka saling tolong menolong. Mereka biasa saling memberikan warisan. Jumlah mereka sekitar 90 orang, terdiri dari orang Muhajirin dan Anshar. Dikatakan juga bahwa jumlah mereka adalah 100 orang. Ketika turun ayat: “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat”, maka batallah hak waris berdasarkan persaudaraan yang telah dibentuk itu. (al Fath [7/191])

_________________________________
1Ini kiasan dari datangnya dunia kepadanya dan banyaknya kekayaanya.


Dikutip dari Kitab Hayatush Shahabah Terjemahan Jilid 1 hal. 486-488, Penerbit Pustaka Ramadhan

Rabu, 11 September 2013

Kesabaran Ammar bin Yasir dan Keluarganya Dalam Menanggung Penderitaan di Jalan Allah

 بسم الله الرحمن الرحيم


Diriwayatkan oleh ath Thabrani, al Hakim, al Baihaqi dan Ibnu Asakir dari Jabir r.a., katanya: Rasulullah saw. melewati Ammar dan keluarganya yang sedang disiksa. Rasulullah saw. berkata kepada mereka, “Berita gembira bagi kalian wahai keluarga Yasir, Karena sesungguhnya yang dijanjikan Allah kepada kalian adalah Jannah.”

Al Haitsami (9/293) mengatakan bahwa perawi-perawinya adalah shahih, selain Ibrahim bin Abdul Aziz al Muqawwim. Dia adalah tsiqat.

Dalam riwayat Abu Ahmad al Hakim dalam al Kuna dan Ibnu Asakir dari Utsman r.a., katanya: Ketika aku sedang berjalan bersama Rasulullah saw. di al Bath-ha’.tiba-tiba terlihat Ammar dan kedua orang tuanya sedang disiksa di bawah terik matahari agar mereka murtad dari agama Islam. Ayah Ammar berkata, “Wahai Rasulullah! Apakah aku akan melewatkan sepanjang masa dengaan begini?”

Rasulullah saw. menjawab, “Bersabarlah wahai keluarga Yasir! Yaa Allah, ampunilah keluarga Yasir dan sesungguhnya Engkau telah mengampuni mereka.”

Diriwayatkan oleh Ahmad, al Baihaqi, al Baghawi dan al Uqaili, Ibnu Mandah, Abu Nu’aim dan yang lainnya dari Utsman r.a., dengan isi sama, sebagaimana tertera dalam al Kanz (7/72). Ibnu Sa’d meriwayatkannya (juz 3, hal.177) dari Utsman r.a. semisal itu.

Diriwayatkan oleh Abu Ahmad al Hakim dari Abdullah bin Ja’far r.hum., katanya: Rasulullah saw. melewati Ammar, ayahnya, Yasir dan ibunya, Sumayyah yang sedang disiksa karena keimanan mereka kepada Allah. Rasulullah saw. bersabda kepada mereka, “Bersabarlah kalian wahai ahli keluarga Yasir, bersabarlah kalian wahai ahli keluarga Yasir, karena sesungguhnya yang dijanjikan untuk kalian adalah Jannah.”

Diriwayatkan oleh Ibnu al Kalbi dari Ibnu Abbas r.hum. semisal hadits itu, dengan tambahan: dan Abdullah bin Yasir. Dia juga menambahkan: Abu Jahal telah menombak kemaluan Sumayyah hingga ia mati syahid. Suaminya, Yasir juga mati syahid akibat siksaan itu. Sementara anaknya, Abdullah bin Yasir telah dipanah hingga jatuh. Sebagaimana tertera dalam al Ishabah (3/647).

Dalam riwayat Ahmad dari Mujahid dikatakan: Orang yang pertama syahid dalam Islam adalah Ibunda Ammar, yaitu Sumayyah yang ditombak oleh Abu Jahal pada kemaluannya. Sebagaimana tercantum dalam al Bidayah (3/59)

Kerasnya siksaan atas Ammar sampai dia dipaksa untuk mengucapkan kata-kata kufur sedang hatinya merasa tenang dengan keimanan.

Diriwayatkan oleh Abu Nuaim dalam kitab al Hilyah  (1/140) dari Ubaidah bin Muhammad bin Ammar, katanya: orang-orang musyrik telah menangkap Ammar r.a. dan menyiksa Ammar. Mereka tidak menghentikan siksaannya sampai ia memaki Rasulullah saw. dan memuji tuhan-tuhan mereka.

Ketika Ammar menemui Rasulullah saw., beliau bertanya kepadanya, “Apa yang telah terjadi padamu?”

Jawab Ammar, “Kejahatan, wahai Rasulullah! Aku tidak dibebaskan oleh mereka hingga aku mencacimu dan menyebut kebaikan tuhan-tuhan mereka.”

Rasulullah saw. bersabda, “Bagaimana hatimu dalam keadaan itu?”

Jawab Ammar, “Hatiku merasa tenang dengan keimanan.”

Kata Rasulullah saw., “Jika mereka mengulangi perbuatan itu perbuatan itu kepadamu, maka hendaknya kamu ulangi lagi apa yang telah kamu katakan kepada mereka.”

Diriwayatkan juga oleh Ibnu Sa’d (3/178) dari Abu Ubaidah seperti hadits itu. Juga diriwayatkan Ibnu Sa’d dari Muhammad: Bahwa Nabi saw. menemui Ammar yang sedang menangis dan beliau menyapu kedua matanya sambil berkata, “Engkau telah disiksa oleh orang-orang musyrik itu dengan dibenamkan ke dalam air. Lalu engkau mengatakan ini dan itu (memaki Rasulullah saw. dan memuji tuhan-tuhan mereka). Sekiranya mereka melakukan yang demikian itu lagi, katakan sebagaimana yang telah engkau katakan sebelum ini.”

Diriwayatkan juga oleh Ibnu Sa’d dari Amr bin Maimun, katanya: Orang-orang musyrik membakar Ammar bin Yasir dengan Api (yang diletakkan di bawahnya, sedangkan Ammar digantung di atasnya). Ketika itu Rasulullah saw. melewati tempat itu dan mengusap kepada Ammar sambil berdo’a, “Wahai api, jadilah kamu dingin dan sejahtera bagi Ammar sebagaimana engkau pernah menjadi demikian untuk Ibrahim a.s. engkau (hai Ammar), akan dibunuh oleh kelompok pemberontak.” (Sabda Nabi saw. ini terjadi pada perang Shiffin).

Dikutip dari Kitab Hayatush Shahabah Terjemahan Jilid 1 hal. 351-353, Penerbit Pustaka Ramadhan

Rasulullah saw. Berangkat Hijrah Dari Makkah Bersama Abu Bakar r.a. dan Persembunyian Mereka di Gua Tsaur


 بسم الله الرحمن الرحيم

Rasulullah saw. brangkat dari Makkah pada malam hari bersama Abu Bakar r.a. ke arah Gua Tsaur. Itulah gua yang dinyatakan oleh Allah swt. Dalam al Qur’an.

Sepeninggalan Rasulullah saw. pada malam itu Ali bin Abi Thalib r.a. tidur di tempat yang biasa ditiduri oleh Rasulullah saw. untuk mengelabui mata-mata suku Quraisy. Mereka tidak mengetahui bahwa yang tidur di tempat itu adalah Ali, bukan Rasulullah saw.

Orang-orang Quraisy menunggu-nunggu di luar rumah itu dengan berunding sepanjang malam untuk menyergap Rasulullah saw. dan mengikatnya. Sedangkan mereka tidak mengetahui bahwa Rasulullah saw. telah meninggalkan rumah itu dan yang tidur di tempatnya adah ali r.a.. itu saja yang dibicarakan di antara mereka pada malam itu.

Ketika Ali r.a. bangun dari tidurnya keesokkan harinya, mereka menanyakan keadaan Rasulullah, dan Ali  r.a. mengatakan bahwa ia tidak mengetahui di mana Rasulullah saw. berada.

Akhirnya mereka menyadari bahwa Rasulullah saw. telah pergi meninggalkan Makkah. Kemudian mereka berkendaraan untuk mencari beliau ke seluruh tempat. Mereka mengirim utusan kepada orang-orang yang tinggal di sekitar mata air untuk melapor bila melihat keduanya dan memberi mereka upah yang sangat besar untuk itu.

Mereka terus mencari Rasulullah saw. hingga beberapa orang dari mereka telah sampai di gua Tsaur di tempat persembunyian Rasulullah saw. dan Abu Bakar r.a..

Mereka menghampiri mulut gua itu dan berdiri di atasnya. Rasulullah saw. mendengar kedatangan mereka. Ketika  itu Abu Bakar r.a. merasa takut dan mencemaskan keselamatan Rasulullah saw.. Maka Rasulullah saw. bersabda kepada Abu Bakar r.a., “Janganlah kamu cemas.” Sebagaimana diterangkan dalam al Qur’an:

لَاتَحْزَنْ اِنَّ اللهَ مَعَنَا...

Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah berserta kita.” (Qs. At Taubah: 40)

Rasulullah saw. berdo’a, kemudian Allah swt. Menurunkan sakinah (ketenangan ke dalam hatinya), sebagaimana firman-Nya:

اِلَّاتَنْصُرُوْهُ فَقَدْنَصَرَهُ اللهُ اِذْاَخْرَجَهُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا ثَانِيَ اثْنَيْنِ اِذْهُمَا فِى الْغَارِاِذْيَقُوْلُ لِصَاحِبِهٰ لَاتَحْزَنْ اِنَّ اللهَ مَعَنَاۚ فَاَنْزَلَ اللهُ  سَكِيْنَتَهُ عَلَيْهِ وَاَيَّدَهُ بِجُنُوْدٍ لَمْ تَرَوْهَاوَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذَِيْنَ كَفَرُوْاالسُّفْلٰىۗ وَكَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا ۗ وَاللهُ عَزِيْزٌحَكِيْمٌ

Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad), sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir mengusirnya (dari Makkah); sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, ketika itu dia berkata kepada sahabatnya (Abu Bakar), “Janganlah engkau bersedih, sesunguhnya Allah bersama kita.” Maka Allah menurunkan ketenangan kepadanya (Muhammad) dan membantu dengan bala tentara (malaikat-malaikat) yang tidak terlihat olehmu, dan Dia menjadikan seruan orang-orang kafir itu rendah. Dan firman Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. At Taubah: 40)

Ketika itu Abu Bakar r.a. mempunyai beberapa ekor kambing perahan yang ada di rumah keluarganya di Makkah. Mak Abu Bakar menyerahkan pemeliharaan kambing-kambing itu kepada Amir bin Fuhairah, bekas budak Abu Bakar r.a., seorang terpecaya dan amanah, yang baik Islamnya. Lalu dia mengupah seorang laki-laki dari Bani Abd bin Adi yang bernama Ibnu al Uraiqith, ia adalah sekutu suku Quraisy di tengah Bani Sahm, dari Bani al Ash bin Wa’il. Pada hari itu ia masih musyrik, gelarnya adalah al Adawi dan ia bertugas menunjukkan jalan. Pada malam-malam itu ia bersembunyi di belakang kami.

Amir bin Fuhairah sendiri datang kepada keduanya dari padang gembalaan dengan menggiring kambing-kambing setiap malam, sehingga keduanya bisa memerah susunya dan menyembelih sebagiannya. Pagi-pagi ia berangkat merumput dan berkumpul bersama gembala-gembala lainnya, dan perbuatannya itu tidak diketahui.

Putra Abu Bakar yang bernama Abdullah bin Abu Bakar selalu mendengarkan perbincangan orang-orang Quraisy mengenai keputusan atau tindakan yang akan dilakukan terhadap Rasulullah saw. dan Abu Bakar r.a.. kemudian berita itu akan disampaikan kepada keduanya pada malam harinya.

Apabila Abdullah kembali dari gua itu, Amir datang dengan kambing-kambing itu untuk menghapuskan jejak-jejak kaki Abdullah, agar tidak diketahui kedatangannya oleh orang-orang Quraisy.

Pagi harinya Amir kembali mengembalakan kambingnya sehingga tidak ada yang mengetahui apa yang dilakukannya pada malam hari.

Sampai ketika suara-suara yang membicarakan beliau telah menjadi reda dan ia mendatangi keduanya pada saat suara-suara itu telah diam, maka keduanya datang kepada Amir dengan menaiki unta. Sementara itu, Rasulullah saw. dan Abu Bakar r.a. telah bersembunyi di gua itu selama dua hari dua malam. Kemudian Rasulullah saw. dan Abu Bakar r.a. keluar untuk meneruskan perjalanan ke Madinah dengan ditemani oleh Amir bin Fuhairah. Ia menuntun unta keduanya, melayani keduanya, dan membantu keduanya. Abu Bakar yang memboncengkannya di belakang dan bergantian memboncengkannya di atas kendaraannya. Tiada orang lagi bersama Abu Bakar selain Amir bin Fuhairah dan saudara Bani Adi (Abdullah bin al Uraiqith) yang menunjukkan jalan untuk mereka.

Al Haitsami mengatakan (juz 6, hal. 52) bahwa sanadnya terdapat Ibnu Lahiah, mengenai dirinya terdapat pembicaraan, sedang haditsnya adalah hasan.

Dikutip dari Kitab Hayatush Shahabah Terjemahan Jilid 1 hal. 431-433, Penerbit Pustaka Ramadhan

Selasa, 10 September 2013

Dakwah Nabi saw. kepada Abu Bakar r.a.


بسم الله الرحمن الرحيم

Diriwayatkan oleh al Hafizh Abu al Hasan ath Athrabullisi dari Aisyah r.ha., katanya: Abu Bakar r.a. keluar menemui Rasulullah saw. dan mereka berdua adalah sahabat akrab sejak zaman jahiliyah. Abu Bakar menemui Baginda saw. dan berkata kepadanya, “Wahai Abu Qosim, engkau tidak terlihat dalam majelis kaummu dan mereka menuduh bahwa engkau telah mencela nenek moyang mereka.”

Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya aku adalah utusan Allah dan menyeru kamu kepada Allah. ”

Ketika Rasulullah saw. selesai berbicara, Abu Bakar pun memeluk Islam. Kemudian Rasulullah saw. meninggalkannya. Tiada seorang pun yang terletak di antara dua gunung di Makkah (maksudnya penduduk Makkah) yang lebih bergembira daripada Rasulullah saw. dengan ke-Islaman Abu Bakar. Kemudian Abu Bakar berjalan menemui Usman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin al Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash dan mereka semua memeluk Islam. Keesokan harinya Abu Bakar datang menemui Utsman bin Mazh’un, Abu Ubaidah bin al Jarrah, Abdur Rahman bin Auf, Abu Salamah bin Abdul Asad, dan al Arqam bin Abu al Arqam, sehingga mereka semua memeluk agama Islam. Kisah ini tertulis dalam kitab al Bidaayah (3/29).

Disebutkan oleh Ibnu Ishaq bahwa Abu Bakar ash Shiddiq r.a. menemui Rasulullah saw. dan berkata kepada beliau: “Apakah benar yang dikatakan oleh kaum Quraisy, wahai Muhammad, bahwa engkau telah meninggalkan tuhan-tuhan kami, menganggap bodoh akal kami, dan mengkafirkan nenek moyang kami?”

Rasulullah saw. bersabda, “Ya, benar. Sesungguhnya aku adalah utusan Allah dan nabi-Nya. Allah telah mengutusku untuk menyampaikan risalah-Nya dan aku menyeru kamu kepada Allah dengan haq. Maka demi Allah, sesungguhnya Dia adalah haq. Wahai Abu Bakar, aku menyeru kamu kepada Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, janganlah kamu menyembah selain-Nya, dan selalulah menaati-Nya.”

Kemudian Rasulullah saw. membacakan kepadanya ayat-ayat al Qur’an. Abu Bakar tidak mengiyakan atau pun menolaknya. Tak lama kemudian ia pun memeluk Islam dan mengingkari berhala-berhala,  meninggalkan sekutu-sekutu Tuhan, dan mengakui hak-hak agam Islam. Abu Bakar r.a. pulang dalam  keadaan membenarkan apa yang disabdakan oleh Rasulullah saw..

Ibnu Ishaq berkata: telah bercerita kepadaku Muhammad bin Abdur Rahman bi Abdullah bin al Hushaini at Tamimi, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah aku menyeru seorang pun kepada Islam melainkan ia akan berhenti sebentar, ragu-ragu, dan berfikir lebih dulu, kecuali Abu Bakar. Ia tidak berdiam diri terlalu lama dan tidak juga ragu-ragu.”

Riwayat di atas dinukulkan oleh Abu Ishaq berkenaan dengan kata-katanya: “Abu Bakar tidak mengiyakan dan tidak juga mengingkarinya.” Ini adalah riwayat yang tidak benar.

Karena Ibnu Ishaq dan yang lainnya menyatakan bahwa Abu Bakar r.a. adalah sahabat Rasulullah saw. pada zaman jahiliyah sebelum Muhammad dilantik menjadi Rasul Allah. Ia sangat mengetahui perangai Rasulullah saw., baik tentang kejujurannya, sifat amanahnya, ketinggian pribadi dan kemuliaan akhlaknya yang kesemuanya menghalangi beliau dari berdusta kepada sesama manusia, maka bagaimana mungkin Rasulullah saw. berdusta kepada Allah swt.? Oleh karena itu hanya dengan kata-kata Rasulullah saw. yang singkat itu, Abu Bakar segera membenarkan apa yang dikatakan oleh Rasulullah saw. tanpa ragu-ragu dan berfikir  lebih dulu.

Disebutkan dalam hadits shahih Imam Bukhari, dari Abu Darda’ r.a. di dalam sebuah hadits yang menceritakan tentang pertikaian antara Abu Bakar dan Umar r.a. Di dalamnya disebutkan: Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengutusku kepada kalian, lalu kalian berkata kepadaku, ‘Engkau telah berdusta (wahai Muhammad), dan Abu Bakar berkata, ‘Engkau benar.’ Dan membantuku dengan harta dan dirinya (dalam melaksanakan dakwah). Apakah kalian akan meninggalkan sahabatku ini?”

Rasulullah saw. mengulangi pertanyaan ini dua kali. Tiada yang menyakiti Abu Bakar r.a. setelah itu. Ini adalah nash yang menunjukkan bahwa ia berasal dari kalangan orang yang awal memeluk Islam. Demikian tercantum dalam kitab al Bidaayah (juz 3, hal. 26-27)

Dikutip dari Kitab Hayatush Shahabah Terjemahan Jilid 1 hal. 53-55, Penerbit Pustaka Ramadhan

Senin, 09 September 2013

Rasulullah saw. Mendamaikan Perselisihan Di Antara Penduduk Quba dan Perselisihan Dua Orang Ketika Mengunjungi Abdullah bin Ubai


 بسم الله الرحمن الرحيم

Dikeluarkan oleh al Bukhari dari Sahl bin Sa’ad, katanya: Terjadi Pertengkaran di antara penduduk Quba hingga mereka saling melempar batu. Kemudian Rasulullah saw. diberi tahu mengenai kejadian itu. Maka beliau bersabda, “Mari kita pergi mendamaikan mereka.”

Dalam riwayat al Bukhari juga dari haditsnya bahwa sejumlah orang dari Bani Amru bin Auf berselisih, lalu Nabi saw. keluar menemui mereka dengan para sahabatnya untuk mendamaikan mereka.

Dikeluarkan oleh al Bukhari dari Anas r.a., katanya: Seseorang berkata kepada Nabi saw., “Lebih baik kita pergi menemui Abdullah bin Ubai.”

Lalu Rasulullah saw. pun pergi menemuinya dengan menunggang himarnya. Turut menyertainya beberapa kaum muslimin. Kawasan yang dilalui mereka adalah kawasan berbukit yang hanya ditumbuhi sedikit pohon.

Ketika Rasulullah saw. sampai, Abdullah berkata, “Pergilah kamu dariku. Bau busuk himarmu menggangggu hidungku.”

Seorang lelaki dari kalangan Anshar berkata, “Demi Allah bau humar Rasulullah saw. adalah lebih baik darimu!”

Seorang lelaki dari pihak Abdullah bin Ubai menjadi marah, lalu keduanya saling memaki satu sama lain. Rekan-rekan dari kedua belah pihak (pihak sahabat Anshar dan pihak Abdullah bin Ubai) ikut campur dalam pertengkaran itu hingga mereka gaduh sampai saling melempar degan pelepah kurma, sepatu dan saling mendorong.

Kami diberi tahu bahwa ayat berikut telah diwahyukan:

وَاِنْ طَآئِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَاَصْلِحُوْابَيْنَهُمَاۚ

Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya…” (Qs. Al Hujuurat: 9)

Telah berlalu riwayat mengenai menjenguk orang sakit dalam hadits Usama r.a. dan telah dikeluarkan oleh al Bukhari, “Kaum musyrikin dan Yahudi saling mencaci hingga Rasulullah saw. mendamaikan mereka yang hampir berperang.”

Dikutip dari Kitab Hayatush Shahabah Terjemahan Jilid 2 hal. 571-572, Penerbit Pustaka Ramadhan

Minggu, 08 September 2013

KIsah Wahsyi bin Harb Memeluk Islam


 بسم الله الرحمن الرحيم

Diriwayatkan oleh Thabrani, dari Ibnu Abbas r.a., katanya: Rasulullah saw. mengirim seorang utusan kepada Wahsyi bin Harb – Pembunuh Hamzah r.a. – agar ia memeluk Islam. Maka Wahsyi balik mengutus seseorang dengan kata-kata, “Wahai Muhammad! Bagaiman Engkau menyeru aku (untuk memeluk Islam) sedangkan engkau mengatakan bahwa barangsiapa membunuh atau mempersekutukan Allah dengan sesuatu atau meakukan zina, maka ia berdosa dan siksa untuknya akan digandakan pada hari Kiamat nanti dan kekal di dalam neraka dalam kehinaan, sedangkan aku telah melakukan perbuatan-perbuatan itu? Apakah engkau menjumpai satu keringanan bagiku?

Inilah tang menyebabkan Allah swt. Menurunkan wahyu:

اِلَّامَنْ تَابَ وَاٰمَنَ وَعَمِلَ عَمَلً صَالِحًا فَاُولٰٓئِكَ يُبَدِّلُ اللهُ سَيِّاٰتِهِمْ حَسَنَاتٍۗ وَكَانَ اللهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

Kecuali orang-orang yang bertaubat dan beriman dan mengerjakan kebajikan; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. Al Furqan: 70)

Wahsyi berkata, “Wahai Muhammad, syarat ini sangat berat bagiku, yaitu aku harus bertaubat dan beriman serta melakukan amal shalih. Aku tidak sanggup melakukan hal-hal seperti itu.”

Peristiwa ini menyebabkan Allah swt. Menurunkan wahyu:

اِنَّ اللهَ لَايَغْفِرُاَنْ يُشْرِكَ بِهٰ وَيَغْفِرُمَادُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاءُۚ

SesungguhnyaAllah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengetahui segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (Qs. An Nisaa: 48)

Wahsyi berkata lagi, “Wahai Rasulullah, aku melihat ampunan itu tergantung kepada kehendak Allah. Aku tidak mengetahui apakah Allah mengampuni atau tidak. Adakah yang lain?”

Maka Allah mewahyukan ayat di bawah ini kepada Rasulullah saw.:

قُلْ يٰعِبَادِيَ الَّذِنَ اَسْرَفُوْاعَلٰٓ اَنْفُسِهِمْ لَاتَقْنَطُوْامِنْ رَّحْمَتِ اللهِۗ اِنَّ اللهَ يَغْفِرُالذُّنُوْبَ جَمِيْعًاۗ اِنَّهُ هُوَالْغَفُوْرُالرَّحِيْمُ

Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dia-lah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Az Zumar: 53)

Wahsyi berkata lagi, “Wahai Muhammad, syarat ini mudah bagiku.”

Maka ia pun memeluk Islam. Para sahabat yang berada di sekitar itu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami telah melakukan perbuatan yang dilakukan oleh Wahsyi.”

Rasulullah saw. bersabda, “Ayat itu ditujukan kepada seluruh orang Islam.”

Al Haitsami (juz 7, hal.100) berkata bahwa dalam sanadnya ada Abyan bin Sufyan. Adz Dzahabi menganggapnya lemah.

Diriwayatkan oleh Bukhari (2/710) dari Ibnu Abbas r.a., katanya: Sesungguhnya orang-orang yang berasal dari kaum musyrik, dulu mereka telah membunuh dan banyak melakukannya, begitu juga mereka telah berzinadan banyak melakukannya, kemudian mereka menemui Rasulullah saw. dan berkata, “Sesungguhnya segala yang telah engkau katakan dan engkau dakwahkan adalah ajaran yang sangat bagus, kalau saja engkau memberi tahu kami bahwa ada penebus untuk segala (dosa) yang kami lakukan selama ini.”
Maka Allah swt. Telah menurunkan ayat sebagai berikut:

وَالَّذِيْنَ لَايَدْعُوْنَ مَعَ اللهِ اِلٰهًا اٰخَرَوَلَايَقْتُلُوْنَ النَّفْسَ الَّتِىْ حَرَّمَ اللهُ اِلَّابِالْحَقِّ وَلَايَزْنُوْنَۚ

Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain dan tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar dan tidak berzina.” (Qs. Al Furqan: 68)

Kemudian ayat yang lain turun:

قُلْ يٰعِبَادِيَ الَّذِنَ اَسْرَفُوْاعَلٰٓ اَنْفُسِهِمْ لَاتَقْنَطُوْامِنْ رَّحْمَتِ اللهِۗ

Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah….” (Qs. Az Zumar: 53)

Muslim juga meriwayatkannya (juz 1 hal. 76), juga Abu Dawud (juz 2 hal. 238), dan an Nasa’I, seperti yang ada dalam al Aini (juz 9 hal. 121). Al Baihaqi meriwayatkannya (juz 9 hal.98) semisal itu.
Dikutip dari Kitab Hayatush Shahabah Terjemahan Jilid 1 hal. 48-50, Penerbit Pustaka Ramadhan

Jumat, 06 September 2013

Dakwah Rasulullah saw. Kepada Abu Thalib Sebelum Meninggal Dunia


بسم الله الرحمن الرحيم

Menurut Ishaq, dari Ibnu Abbas r.a. –seperti tersebut dalam al Bidayah (3/123) – dia berkata: Ketika pemuka-pemuka kaum Quraisy berjalan menuju rumah Abu Thalib untuk berbicara kepadanya, mereka terdiri dari ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Abu Jahal bin Hisyam, Umayyah bin Khalaf, dan Abu Sufyan bin Harb yang merupakan orang-orang terhormat dari kalangan kaum Quraisy. Mereka berkata, “Wahai Abu Thalib, sesungguhnya engkau mengetahui kedudukanmu di sisi kami. Maut hampir menjemputmu pulang. Kami sangat mengkhawatirkan kehormatanmu di kalangan kami. Engkau mengetahui apa yang sedang terjadi antara kami dengan keponakanmu (berkaitan dengan gakwah Rasulullah saw.). Panggillah ia dan ambillah janji darinya agar ia mau mencegah dirinya dari mencela kami dan kami pun akan berhenti mengganggunya supaya ia membiarkan kami dengan agama kami dan kami pun akan membiarkannya dengan agamanya.”

Kemudian Abu Thalib mengutus seseorang untuk memangggil Rasulullah saw.. Baginda saw. datang untuk menghadap pamannya. Abu Thalib berkata, “Wahai keponakannku, mereka ssemua adalah pemuka-pemuka dari kalanganmu, telah siap mengadakan perjanjian denganmu.”

Rasulullah saw. bersabda, “Baiklah, hanya sebuah kalimat yang aku mau kalian mengatakannya. Seluruh bangsa Arab dan orang-orang Ajam akan tunduk kepada kalian disebabkan oleh kalimat itu.”

Abu Jahal berkata, “Baiklah, demi bapakmu, bahkan walau sepuluh kalimat pun.”

Rasulullah saw. bersabda, “Katakanlah olehmu Laa Ilaaha Illallaah dan tinggalkan semua sesembahan selain Dia.”

Mereka pun bertepuk tangan sambil berkata, “Wahai Muhammad, apakah engkau akan menjadikan tuhan-tuhan yang banyak itu menjadi satu tuhan saja? Sesungguhnya ini adalah sesuatu yang aneh.”

Kemudian mereka berkata di antara sesama mereka, “Demi Allah, sesungguhnya ia tidak akan memberi kalian sedikit pun dari yang kalian inginkan (perjanjian atau kompromi), oleh sebab itu tinggalkanlah ia dan tetaplah dengan agama nenek moyang kalian sehingga Tuhan memutuskan di antara kalian dengannya.”

Kemudian mereka pun berpisah.

Perawi mengatakan bahwa Abu Thalib berkata, “Demi Allah, keponakanku, kulihat engkau meminta sesuatu kepada mereka yang melampaui batas.”

Rasulullah saw. merasa optimis pamannya dapat mengucapkan kalimat syahadat. Itulah yang menyebabkan Rasulullah saw. bersabda, “Wahai paman, Jika paman mengucapkannya, maka aku akan memohonkan untuk paman syafaat pada hari kiamat.”

Melihat semangat keponakannya, Abu Thalib berkata, “Wahai keponakanku, demi Allah, jika bukan karena takut cacian (kaum Quraisy) kepadamu dan keluarga ayahmu sepeninggalku, dan anggapan kaum Quraisy bahwa aku mengucapkan kalimat itu karena takut mati, pasti aku telah mengucapkannya. Tidaklah aku mengucapkannya melaikan untuk menggembirakanmu dengannya.”

Kemudian Ibnu Abbas menyebutkan hadits itu selengkapnya, dan di dalam sanadnya ada seorang perawi yang masih samar, tidak diketahui keadaannya.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnul Musayyab dari ayahnya, bahwa ketika Abu Thalib sedang sakaratul maut, Nabi saw. masuk dan menemuinya. Abu Jahal berada di samping Abu Thalib ketika itu. Nabi saw. bersabda, “Wahai paman, ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah dan aku akan membela paman dengannya di hadapan Allah nanti.”

Abu Jahal dab Abdullah bin Umayyah berkata, “Hai Abu Thalib, apakah engkau akan meninggalkan agama Abdul Muththalib?”

Mereka berdua terus mendesak Abu Thalib dengan kata-kata itu hingga kata-kata terakhir Abu Thalib adalah: “Aku tetap pada Agama Abdul Muththalib. Rasulullah saw. bersabda, “Saya akan memohon ampunan untukmu selama saya tidak dilarang melakukan hal itu.”

Peristiwa itulah yang menyebabkan Allah swt. Menurunkan wahyu:

مَاكَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْآ اَنْ يَّسْتَغْفِرُوْالِلْمُشْرِكِيْنَ وَلَوْكَانُوْا اُولِى قُرْبٰى مِنْ ۢبَعْدِ مَاتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُمْ اَصْحَابُ الْجَحِيْمِ

Tiadalah sepatutunya bagi nabi dan orang-orang yang beriman meminta ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam.” (Qs. At Taubah: 113)

Juga diwahyukan ayat sebagai berikut:
اِنَّكَ لَاتَهْدِيْ مَنْ اَحْبَبْتَ...
“Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang engkau kasihi…” (Qs. Al Qashash: 56)

Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dengan sanad lain dari bapak Ibnul Musayyab hampir sama seperti itu, dan Ibnu Abbas berkata di dalamnya: Maka Rasulullah saw. terus mendakwahi pamannya dan mereka berdua (Abu Jahal dan Abdullah) terus mendesak Abu Thalib sehingga pada akhir hayatnya Abu Thalib menyatakan, “Aku tetap memeluk agama Abdul Muththalib.” Dan tidak mau mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah. Rasulullah saw. bersabda, “Aku akan minta ampunan untukmu selama aku tidak dilarang melakukan hal itu.” Maka Allah swt. Menurunkan kedua ayat di atas.

Demikian juga yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim, Nasa’I dan Tirmidzi dari Abu Hurairah r.a., katanya: Ketika Abu Thalib sedang sakaratul maut, Rasulullah saw. bersabda, “Wahai paman, ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah  dan aku akan bersaksi untukmu pada hari kiamat.”

Kata Abu Thalib, “Seandainya kaum Quraisy tidak mengejekku dengan berkata, Abu Thalib mengucapkan kalimat itu karena takut mati, maka pasti aku akan menyenangkan hatimu.” Karena itu Allah swt. Menurunkan surat al Qashash ayat 56 yang artinya “Sungguh, engkau(Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia Kehendaki, dan Dia lebih Mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (Al Bidayah [3/124])

Dikutip dari Kitab Hayatush Shahabah Terjemahan Jilid 1 hal. 38-40, Penerbit Pustaka Ramadhan