Pages

Kamis, 26 Desember 2013

Kisah Khalid bin Walid Masuk Islam


 بسم الله الرحمن الرحيم

Diriwayatkan oleh al Waqidi dari Khalid r.a. katanya: Ketika Allah ingin memberiku kebaikan, maka Dia memasukkan Islam ke dalam hatiku dan petunjuk-Nya hadir dalam hatiku. Aku telah berperang melawan Muhammad dalam banyak pertempuran. Namun dalam setiap peperangan aku pasti kalah dan Muhammad pasti memperoleh kemenangan.

Ketika Rasulullah saw. berangkat ke Hudaibiyah, aku berangkat bersama pasukan berkuda kaum musyrik. Di ‘Usfah, aku bertemu dengan Rasulullah saw. bersama para sahabatnya. Aku berdiri di hadapan jalur perjalanan beliau untuk menghalanginya. Beliau melakukan shalat Dhuhur dengan para sahabatnya di hadapan kami sementara kami berniat untuk menyerang mereka. Akan tetapi hal itu belum kami niatkan dengan kuat, karena dalam masalah itu masih ada pilihan lainnya. Selanjutnya beliau mengetahui keinginan yang ada dalam hati kami, sehingga Rasulullah saw. melaksanakan shalat Ashar barsama para sahabatnya dengan shalat khauf.

Hal itu telah menyebabkan timbulnya kesimpulan di dalam hati kami dengan kesimpulan yang sempurna, dan aku berkata, “Lelaki itu sedang dihalangi.”

Rasulullah saw. pun menghindar dari kami dan menyimpang dari arah perjalanan pasukan berkuda kami. Beliau mengambil jalan sebelah kanan. Ketika itu orang-orang Quraisy mengadakan perjanjian Hudaibiyah, dan mereka telah memaksa beliau untuk meninggalkan Makkah dengan tangan kosong tanpa senjata.

Aku berkata kepada diriku sendiri, “Apa lagi yang masih tersisa? Ke mana aku harus pergi? Kepada Najasyi! Sesungguhnya ia telah mengikuti Muhammad dan para sahabat beliau ada di sisinya dalam keadaan aman. Haruskah aku pergi menyertai Hiraqla dan keluar dari agamaku untuk memeluk agama Kristen atau Yahudi? Lalu aku tinggal di kalangan orang-orang ‘Ajam?”

Maka aku pun tetap tinggal di kampungku bersama orang-orang yang belum memeluk Islam. Ketika aku dalam keadaan demikian, Rasulullah saw. memasuki kota Makkah untuk mengerjakan umrah Qadhiyyah1. Aku pun menyembunyikan diri, dan tidak mau menyaksikan kedatangan Rasulullah saw. di Makkah. Saudara lelakiku, al Walid bin al Walid telah masuk ke Makkah bersama Rasulullah saw. di dalam umrah itu.

Dia berusaha mencariku tetapi tidak berhasil menemukanku. Oleh karena itu, ia menulis surat kepadaku yang berbunyi:

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya aku tidak melihat sesuatu yang membuatku heran daripada hilangnya kemampuan berpikirmu terhadap agama Islam, sedang akalmu dalam keadaan sempurna, bisa membedakan antara yang hak dan batil. Agama seperti Islam itu, adakah seseorang yang tidak tahu. Padahal Rasulullah saw. bertanyakepadaku mengenaimu.”

“Rasulullah saw. bersabda, ‘Di manakah Khalid?’ Aku menjawab, ‘Allah akan mendatangkannya.’ Beliau bertanya, orang seperti dia masih tidak tahu mengenai agama Islam? Jika ia berusaha dengan gigih dan menggunakan kemampuan perangnya untuk membantu orang Islam, niscaya hal itu lebih baik baginya. Dan kami mendahulukannya sebelum yang lainnya.’ Karena itu, Wahai saudaraku! Raihlah medan-medan perang kebaikan yang telah kau lewatkan!”

Khalid berkata, “Telah sampai suratnya ke pangkuanku. Ini membuatku merasa ringan untuk keluar dari kampungku. Pada saat inilah kegairahanku untuk memeluk Islam semakin bertambah. Pertanyaan Rasulullah saw. terhadap diriku juga sangat menggembirakanku. Aku bermimpi seolah-olah aku berada di suatu negeri yang sangat  sempit dan gersang, kemudian aku keluar menuju suatu negeri yang subur menghijau dan sangat luas. Aku mengatakan bahwa sesungguhnya mimpi ini benar.”

Ketika aku sampai di Madinah, aku berkata, “Aku akan menceritakan mimpiku itu kepada Abu Bakar r.a..” kemudian Abu Bakar berkata, “Negeri yang luas itu adalah jalan keluarmu, yang dengannya Allah telah memberikan hidayah kepadamu untuk memeluk Islam. Sedang negeri yang sempit itu adalah tempat di mana sebelumnya kamu berada dalam kesyirikan.”

Kata Khalid:
Sebelumnya, ketika aku berazam untuk berangkat menemui Rasulullah saw., aku bertanya, “Siapakah yang bisa kujadikan teman untuk berjumpa dengan Rasulullah saw.?”

Maka aku menemui Shafwan bin Umayyah dan berkata kepadanya, “Hai Abu Wahb, apakah engkau tidak melihat keadaan kita sekarang ini? Sesungguhnya kita hanyalah seperti hujan rintik-rintik (perumpaman jumlah yang sedikit). Muhammad telah memperoleh kemenangan di atas orang-orang Arab maupun orang Ajam. Maka alangkah baiknya jika kita menemui Muhammad dan mengikutinya, karena sesungguhnya kemuliaan Muhammad adalah kemulian kita juga.”

Akan tetapi ia menolak dengan penolakan yang kuat, sampai ia berkata, “Jika tidak ada siapa pun yang tersisa kecuali aku saja, pasti aku tidak akan mengikutinya selama-lamanya.”

Kami pun berpisah. Ia adalah lelaki yang saudaranya dan bapaknya terbunuh dalam perang Badar, wajar jika ia menolak. Kemudian aku menemui Ikrimah bin Abu Jahal, aku pun mengatakan kepadanya seperti yang aku katakan kepada Shafwan tadi. Ikrimah pun memberi jawaban kepadaku seperti halnya Shafwan.

Aku berkata, “Kalau begitu, rahasiakanlah azamku ini.”

Kata Ikrimah, “Aku tidak akan menceritakannya kepada siapa pun.”

Kemudian aku kembali ke rumahku dan menyuruh seseorang menyiapkan tungganganku. Aku berangkat hingga aku berjumpa dengan Utsman bin Thalhah r.a.. Aku berkata dalam hati, “Sesungguhnya ia adlah sahabat baikku, sebaiknya aku memberitahukan keinginanku padanya.” Akan tetapi aku igat dengan para moyangnya yang terbunuh melawan Rasulullah saw., sehingga aku tidak suka untuk menceritakan niatku. Tetapi kemudian aku berkata lagi, “Apa salahnya bila kuceritakan? Lagi pula aku saat ini sudah dalam keadaan berangkat.” Maka aku beritahukan kepadanya peristiwa yang mungkin akan menimpanya.

Aku berkata, “Sesungguhnya saat ini kita seperti musang di dalam lubangnya. Apabila ke dalam lubang-lubang itu disemprot dengan air, pastilah musang-musang itu akan keluar dari lubangnya.”

Lalu aku berkata kepada Utsman bin Thalhah sebagaimana yang aku katakan kepada kedua sahabatku tadi, dan ia pun menyambutnya dengan baik.

Aku berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku pada hari ini telah bersiap pagi sekali dan besok aku berniat berangkat pagi juga. Dan ini kendaraanku yang kuutaruh di Fajj dalam keadaan terlambat.”

Maka aku membuat janji dengannya untuk bertemu di Ya’juj (sekita delapan mil dari Makkah). Apabila ia yang sampai lebih dahulu di sana, maka ia akan menungguku, dan begitu pula sebaliknya.

Kemudian kami berangkat sampai di Haddah. Di sana kami menemui ‘Amr bin ‘Ash. Ia berkata, “Selamat datang wahai kaum.”

Kami menjawab, “Selamat datang juga bagimu.”

Dia bertanya, “Ke mana arah tujuanmu?”

Kami pun bertanya, “Apa yang menyebabkan engkau  keluar dari Makkah?”

Ia pun balik bertanya, “Apa yang menyebabkan engkau  keluar dari Makkah?”

Kami menjawab, “Untuk memeluk Islam dan mengikuti Muhammad saw.

Dia berkata, “Demikian juga yang menyebabkan aku sampai di sini.”

Maka kami pun pergi bersama hingga sampai di Madinah. Kami tambatkan unta kami di bagian luar Harrah. Kedatangan kami telah diberitahukan kepada Rasulullah saw. dan beliau sangat gembira dengan kedatangan kami ini. Aku pun memakai pakaian yang terbaik kemudian menemui Rasulullah saw.. Di sana aku menemui adik lelakiku yang berkata, “Bersegeralah, karena sesungguhnya Rasulullah saw. telah di beri tahu mengenai kedatanganmu dan beliau sangat gembira, beliau juga sedang menunggu kalian.”

Kami pun mempercepat langkah menuju ke sana. Aku muncul di hadapan Rasulullah saw. yang terus tersenyum kepada kami sehingga aku berhenti di hadapannya dan memberikan salam kepadanya dengan ucapan kenabian, “Assalamu’alaykum, wahai nabi Allah.”

Beliau saw. menjawab salamku dengan wajah yang berseri-seri.

Aku berkata, “Sesungguhnya aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan sesungguhnya engkau pesuruh Allah.”

Rasulullah saw. bersabda, “Marilah.” Kemudian beliau bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan hidayah kepadamu, sesungguhnya aku telah melihat engkau sebagai orang yang berakal cerdik dan aku berharap akalmu tidak akan mengantarkan engkau melainkan menuju kebaikan.”

Aku berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku telah melihat dalambeberapa medan perang yang diikuti saat melawan engkau dengan penuh penantangan. Maka hendaknya engkau memohon kepada Allah untuk mengampuni semua itu untukku.”

Rasulullah saw. bersabda, “Islam telah menghapuskan semua dosa yang terjadi sebelumnya.”

Aku berkata, “Wahai Rasulullah, selain itu?”

Rasulullah saw. berdo’a, “Ya Allah, ampunilah Khalid bin al Walid dari semua yang telah dilakukannya yang menghalangi-halangi orang dari jalan-Mu.”

Utsman dan ‘Amr pun pergi ke hadapan Rasulullah dan berbaiat kepadanya.

Kedatangan kami saat itu terjadi pada bulan Shafar tahun delapan hijrah. Demi Allah, Rasulullah saw. tidak pernah menyejajarkanku dalam setiap urusan sulit yang menimpa beliau.

Demikian tersebutkan dalam kitab al Bidayah (juz 4, hal. 238). Ibnu Asakir juga meriwayatkannya semisal dengan hadits itu secara panjang lebar, seperti tercantum dalam kitab Kanz al Ummal (juz 7, hal. 30).
________________________

1 Umrah Qadhiah: umrah yang dikerjakan Rasulullah saw. dalam bulan Dzulqaidah tahun 7 H. Umrah ini adalah pengganti umrah yang dilarang orang-orang Quraisy pada tahun 6 H. Qadhiah artinya ganti / tebusan.

Dikutip dari Kitab Hayatush Shahabah Terjemahan Jilid 1 hal. 183 - 186, Penerbit Pustaka Ramadhan

Rabu, 25 Desember 2013

Mujahadah Ummu Salamah Dalam Menanggung Penderitaan

 بسم الله الرحمن الرحيم

Ayah Ummu Salamah adalah seorang pembesar dari kalangan Banu Makhzum dan termasuk orang yang dermawan dan ternama dari bangsa Arab. Suaminya adalah Abdullah bin Abdul Asad, salah seorang  dari sepuluh orang pertama memeluk Islam. Sebelumnya tiada seorang pun yang memeluk Islam selain Abu Bakar r.a. dan beberapa orang lelaki yang tidak lebih dari sepuluh orang.

Namanya adalah Hindun dan gelarnya adalah Ummu Salamah, kemudian ia lebih ddikenal dengan nama Ummu Salamah. Ummu Salamah dan suaminya telah memeluk Islam. Ummu Salamah juga termasuk di antara wanita-wanita yang pertama-tama memeluk Islam. Ketika berita keIslaman mereka semakin tersebar di kalangan orang-orang Quraisy, mereka menjadi marah dan membuat berbagai tipu daya terhadap Ummu Salamah dan suaminya. Mereka telah mendera dan menyakitinya, namun semua itu tidak dapat menghalangi Ummu Slamah dan suaminya untuk tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Ketika penderitaan dan siksaan yang dilakukan oleh orang-orang Quraisy terhadap sepasang suami istri itu semakin menjadi-jadi, Rasulullah saw. mengijinkan keduanya untuk berhijrah ke Habsyah. Keduanya termasuk dalam rombiongan pertama yang berhijrah ke Habsyah.

Karena itu, Ummu Salamah dan suaminya mengembara di tempat orang dengan meninggalkan rumahnya di Makkah, kemasyhuran, dan garis turunannya yang tidak dipakai lagi, semata-mata untuk mengharapkan ganjaran dan keridhaan Allah swt.

Walaupun mereka mendapat perlakuan yang baik dari raja Habsyah, an Najasyi, akan tetapi kerinduan kepada tanah kelahirannya Makkah, tempat turunnya wahyu, tetap membara dalam hati mereka. Kasih sayangnya kepada Rasulullah saw. seakan-akan menuntun jiwa mereka untuk kembali ke Makkah dan ridha menerima siksaan dari orang-orang Quraisy asal dapat berdampingan dengan Rasul yang mulia dan melihat wajahnya yang bercahaya. Semua itu mununtun qolbunya agar kembali ke Makkah.

Kemudian datanglah berita dari orang-orang yang berhijrah bahwa jumlah orang Islam di Makkah semakin bertambah banyak dan Ke-Islaman Hamzah bin Abdul Muththalib serta Umar bin Khaththab telah menambah kekuatan mereka untuk mengurangi siksaan dari orang-orang Quraisy terhadap orang Islam. Lalu mereka bertekad untuk kembali saja ke Makkah karena kerinduan dan kasih sayangnya kepada Rasulullah saw. yang tidak tertahankan. Ummu Salamah dan suaminya adalah yang pertama kali kembali ke Makkah dari kalangan mereka.

Akan tetapi berita mengenai bertambahnya jumlah orang-orang Islam si Makkah itu hanya kabar angin saja dan penyiksaan terhadap orang-orang Islam yang dikabarkan telah berkurang setelah ke-Islaman Hamzah dan Umar hanyalah rekaan semata-mata, bahkan siksaan dan kekejaman orang-orang Quraisy itu semakin bertambah hebat. Bahkan, semakin banyak fitnah dan siksaan yang dilakukan orang-orang Quraisy itu dibandingkan sebelum kedua pemuka Quraisy itu masuk Islam. Dengan demikian, Rasulullah saw. mengijinkan mereka agar berhijrah ke Madinah. Maka Ummu Salamah dan suaminya bertekad untuk menyertai orang-orang Islam hijrah ke Madinah sebagaimana diperintahkan oleh Rasulullah saw. dan termasuk rombongan pertama yang berhijrah demi menyelamatkan iman dan agama dari penindasan orang-orang Quraisy.

Walau bagaimana pun, hijrahnya Ummu Salamah dan suaminya tidaklah semudah seperti yang diinginkannya. Hijrah mereka kali ini benar-benar merupakan ujian keimanan bagi mereka dengan cobaan berat yang harus ditanggung oleh suami istri itu.

Ummu Salamah menceritakan:
Ketika Abu Salamah (suaminya) telah sepakat untuk pergi ke Madinah, ia mengikatku di atas punggung untanya. Ia membawaku di atas unta itu dan meletakkan anakku, Salamah bin Abu Salamah di pangkuanku. Ia munutun unta itu tanpa berhenti atau singgah di mana pun.

Sebelum kami bertolak dari Makkah, kaum lelaki dari Bani al Mughirah, yaitu kaumku, telah melihatnya, mereka menghentikannya dan berkata, “Apakah dirimu sendiri mampu mengalahkan kami untuk membela wanita itu? Tidakkah kamu lihat saudara wanita kami ini, atas dasar apa kami membiarkanmu berjalan membawanya di berbagai negeri?”

Kemudian mereka merebut tali kendali unta dari tangan Abu Salamah dan mengambilku darinya.

Ketika kaum suamiku, Bani Abdul Asad melihat mereka merampas aku dan anakku, mereka sangat marah dan berkata, “Demi Allah! Kami tidak akan membiarkan putera kami dibawa oleh wanita itu, karena kalian telah merebut wanita itu dari tangan saudara kami.”

Kemudian mereka merebut anakku, Salamah, dari kaumku di hadapanku hingga berhasil membawanya pergi.

Lalu Bani Abdul Asad membawanya pergi, sedang Bani al Mughirah menahanku di tengah mereka, sementara Abu Salamah, suamiku, berangkat menuju Madinah. Sehingga aku dipisahkan dari suami dan puteraku. Setiap pagi aku keluar dan duduk di al Athbah,1 lalu tiada hentinya aku menangis. Demikian itu berlangsung sampai satu tahun atau sekira itu. Sampai akhirnya seorang laki-laki di antara putera pamanku dari kalangan Bani Mughirah melewatiku dan melihat keadaanku, lalu merasa kasihan padaku. Dia berkata kepada Bani Mughirah, “Tidakkah kalian keluarkan saja wanita miskin itu, karena kalian telah memisahkan antara dia, suaminya dan puteranya?”

Ia terus menerus membujuk hingga melembutkan hati mereka. Mereka berkata kepadaku, “Pergilah susullah suamimu jika kamu mau.”

Pada saat itulah Bani Abdul Asad mengembalikan puteraku padaku. Aku kendarai untaku, lalu kuambil puteraku dan kuletakkan di pangkuanku. Lantas aku berangkat dengan maksud menemui suamiku di Madinah. Dan tiada seorang pun yang menemaniku.

Ketika aku sampai di Tan’im, aku berjumpa dengan Utsman bin Thalhah2 bin Abu Thalhah dan ia bertanya kepadaku, “Ke manakah tujuanmu, wahai anak perempuan Abu Umayyah?”

Aku menjawab, “Aku ingin bertemu dengan suamiku di Madinah.”

Ia bertanya lagi, “Adakah seseorang yang menemanimu?”

Aku menjawab, “Tiada seorang pun yang bersamaku selain Allah dan puteraku ini.”

Kata Utsman, “Demi Allah, kamu tidak pantas ditinggalkan begitu saja.”

Kemudian ia memegang tali kendali unta itu dan menuntunnya dengan cepat. Demi Allah, aku belum pernah bersahabat dengan seorang lelaki dari kalangan orang Arab yang lebih mulia dan baik hati darinya. Bila sampai di tempat istirahat, ia menjauhkan diri dengan untaku dan melepas pelana darinya. Ia mengikatkannya pada pohon, lalu menyingkirkan ke pohon lain dan berbaring di bawahnya.

Bila waktu berjalan sudah dekat, ia bangkit menuju untaku dan menaikinya, lalu menyingkir dariku seraya berkata, “Naiklah.”

Takkala aku sudah naik di atas untaku dan duduk sempurna, ia pun menghampiri dan memegang tali kendalinya dan menuntun unta itu sampai menurunkan aku lagi.

Ia terus melakukan hal itu sehingga membawaku tiba di Madinah. Ketika kami sampai ke kampong yang bernama Quba’ (dua batu dari Madinah) yang didiami Bani ‘Amr bin ‘Auf, ia berkata kepadaku, “Suamimu tinggal di kampong itu, maka masuklah ke kampong itu dengan berkat Allah.”

Kemudian ia pun pulang ke Makkah. Ummu Salamah selalu berkata: Aku tidak mengetahui ada suatu keluarga di dalam Islam yang ditimpa musibah seperti menimpah keluarga Abu Salamah. Dan aku tidak melihat seorang sahabat pun yang lebih mulia daripada Utsman bin Thalhah (bin Abu Thalhah).

Utsman bin Thalhah bin Abu Thalhah al Adawi r.a. masuk Islam sesudah perjanjian Hudaibiyah dan berhijrah bersama Khalid bin al Walid r.a.. Demikian tercantum dalam kitab al Bidayah (juz 3, hal. 169).

Abu Salamah berkesempatan menyertai Rasulullah saw. dalam perang Badar dengan kembali membawa kemenangan, dan mereka telah memperoleh pertolongan Allah dengan pertolongan yang sesungguhnya.

Kemudian tiba pula perang Uhud setelah kemenangan umat Islam di medan Badar. Dalam perang Uhud itu, Abu Salamah mengalami luka parah. Ia terus berusaha untuk mengobati luka parahnya hingga ia menganggapnya telah cukup sembuh. Namun ternyata lukanya itu semakin parah hingga menyebabkan Abu Salamah terpaksa berbaring saja di tempat tidurnya.

Ketika Abu Salamah berusaha mengobati lukanya, ia berkata kepada istrinya, “Hai Ummu Salamah, aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Tiada seseorang ditimpa musibah lalu ia berdo’a, ‘Ya Allah, hanya kepada-Mulah aku mengharapkan ganjaran karena musibah yang menimpa diriku itu. Ya Allah, gantilah musibah itu dengan kebaikan.’ Melaikan Allah akan mengaruniakan kebaikan itu kepadanya.”

Abu Salamah menghabiskan waktunya yang panjang dengan berbaring saja di tempat tidurnya. Pada suatu pagi, ia didatangi Rasulullah saw.. Tidak lama setelah Rasulullah saw. meninggalkan Abu Salamah, Abu Salamah meninggal dunia.

Rasulullah saw. merapatkan kedua mata Abu Salamah dengan kedua tangannya yang mulia. Kemudian Rasulullah saw. mengangkat matanya ke langit dan berdo’a, “Ya Allah, ampunilah Abu Salamah, tinggikanlah derajatnya di kalangan orang-orang muqarrabin, dan gantikanlah ia di tenga keluarganya, ampunilah kami dan ia wahai Rabb sekalian alam. Serta lapangkanlah dan terangilah kuburnya.”

Ummu Salamah teringat dengan perkataan Abu Salamah dari Rasulullah saw., lalu ia berkata,
اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيْبَتِي وَاخْلُفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا
“Ya Allah, hanya kepada-Mu aku mengaharapkan balasan terhadap musibah yang menimpah diriku ini.”

Walau bagaimana pun, ia tidak merasa enak hati untuk berdo’a agar mendapatkan seorang suami sebagai ganti Abu Salamah, yang lebih baik dari Abu Salamah. Karena menurutnya tidak ada seorang pun yang lebih baik dari Abu Salamah.

Semua orang Islam bersedih hati dengan wafatnya Abu Salamah dengan kesedihan yang tiada taranya dibandingkan kematian orang lain. Lalu Ummu Salamah diberi gelar “wanita yang kehilangan suami.”

Ia tidak memiliki orang lain di Makkah selain anak lelakinya itu.

Orang-orang Muhajirin dan Anshar merasakan kesedihan atas musibah yang menimpah Ummu Salamah hingga Abu Bakar datang meminangnya, tetapi ia menolaknya. Kemudian datang Umar bin Khaththab meminangnya, dan ia pun menolaknya. Kemudian Rasulullah saw. datang meminangnya, dan Ummu Salamah berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku masih memiliki tiga sifat, yaitu: pertama, aku sangat mencintai dan masih mengingat suamiku Abu Salamah, karena itu aku takut sekiranya tuan akan mendapatkan sesuatu padaku yang dapat menimbulkan amarah tuan, yang disebabkan itu Allah akan mengazabku. Kedua, aku seorang wanita yang sudah tua. Dan ketiga, aku seorang wanita yang tidak mempunyai apa-apa (miskin).

Rasulullah saw. berkata kepadanya, “Adapun kenangan dan kecintaan kepada suami, aku akan berdo’a kepada agar Allah menghilangkannya darimu. Sedangkan mengenai usia tua, aku pun semakin hari semakin tua. Adapun kemiskinanmu adalah kemiskinanku juga.”

Kemudian Rasulullah saw. menikahi Ummu Salamah dan Allah swt. Mengabulkan do’anya. Allah telah mengganti Abu Salamah dengan orang yang lebih baik darinya, yaitu Rasulullah saw.. sejak saat itu Ummu Salamah tidak hanya menjadi ibunda dari anaknya, Salamah, akan tetapi menjadi Ibu dari sekalian orang-orang yang beriman (Ummahatul mukminin). Allah menyinari wajah Ummu Salamah dalam Jannah dan Allah ridha kepadanya.

Sebagaimana dalam Asadul Ghabah, Tahdzibur Tahdzib, al Bidayah wan Nihayah, dan Taqribut Tahdzib.
1 Itu merupakan saluran air antara Makkah dan Madinah. Batasnya dengan Mina adalah gunung al ‘Irah, yang dekat dengan jalan as Sit yang terletak pada perjalanan menuju Mina, menurut yang biasa disebut orang banyak. Ia dinamakan juga: (tempat istirahat Bani Kinanah) ini merupakan tempat istirahat orang-orang Quraisy untuk bersumpah setia di atas kekafiran. Ini juga dinamakan (al Abthah) dan (al Bath-ha’) yaitu lembah yang terbentang luas, dan (Shafiy al Bab). Ibnu Hajar menambahkan: Juga dinamakan (al Mu’arras). Kami berkata: pada hari ini dikenal dengan nama (al Ma’abidah), yang dinisbatkan pada nama seorang perempuan bernama Ummu ‘Abid yang dahulu tinggal di tempat itu, seperti dikatakan oleh para penduduk Makkah yang panjang umurnya. Hasyiyah al Azraqi (2/160)

2 Utsman bin Thalhah adalah penjaga Baitullah pada zaman jahiliyyah, ia memeluk Islam bersama-sama dengan Khalid bin Walid dan turut menyertai Rasulullah saw. pada pembukaan Makkah, lalu Rasulullah saw. menyerahkan kunci Ka’bah itu kepadanya. Namun ketika ia menemui Ummu Salamah, ia masih musyrik.

Dikutip dari Kitab Hayatush Shahabah Terjemahan Jilid 1 hal. 408 - 413, Penerbit Pustaka Ramadhan

Perndapat al Aqamah mengenai Hakikat Iman, Dakwah Kepada Iman dan Perkara-Perkara Fardhu


 بسم الله الرحمن الرحيم

Diriwayatkan oleh Hakim dari al Aqamah bin Harits r.a. yang berkata: Aku dan kaumku bartujuh orang datang menemui Rasulullah saw.. Kami mengucapkan salam dan beliau menjawab salam kami itu. Kami berbincang-bincang dengan Rasulullah saw. dan beliau tertarik dengan pembicaraan kami.

Rasulullah saw. bertanya, “Siapa kalian ini?”

Kami menjawab, “Kami adalah orang-orang yang beriman.”

Sabda Rasulullah saw., “Setiap perkata mempunyai hakikat. Apakah hakikat iman kalian itu?”

Kami menjawab, “Lima belas sifat. Lima perkara yang engkau perintahkan kepadda kami, lima hal yang telah diperintahkan oleh utusanmu, dan lima perkara yang menjadi akhlak kami sejak zaman jahiliyyah dan kami masih mengamalkannya, wahai Rasulullah.”

“Apakah lima amalan yang aku perrintahkan kepada kalian?” Tanya Rasulullah saw..

Kami menjawab, “Engkau telah perintahkan kami agar beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, serta takdir Allah yang baik maupun yang buruk.”

“Apakah lima perbuatan yang diperintahkan oleh utusanku?” Tanya Rasulullah saw. lagi.

Kami menjawab, “Kami diperintahkan oleh utusanmu agar bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya dan bahwa engkau adalah hamba sekaligus utusan Allah; mendirikan Shalat; membayar zakat; shaum pada bulan Ramadhan; mengerjakan haji di Baitullah jika kami mampu melakukannya.”

Rasulullah saw. bertanya, “Apakah lima sifat yang masih  menjadi akhlak kalian sejak jaman jahiliyyah?”

Kami menjawab, “Bersyukur ketika mendapat kesenangan; bersabar ketika ditimpa musibah; keras dan berani di medan perang; ridha atas takdir yang ditetapkan Allah; dan  tidak merasa gembira dengan suatu musibah yang menimpah musuh.”

Mendengar penjelasan itu, Rasulullah saw. bersabda, “Kalian adalah orang-orang yang faqih dan sangat beradab, hampir saja kalian serupa dengan nabi-nabi disebabkan sifat-sifat yang begitu indahnya.”

Rasulullah saw.tersenyum kepada kami lalu bersabda lagi, “Aku memberi kalian lima wasiat lagi agar Allah menyempurnakan bagi kalian sifat-sifat kebaikan, yaitu: janganlah kalian mengumpulkan makanan yang tidak akan kalian makan; jangan membangun rumah yang tidak akan kalian tinggali; jangan kalian berlomba-lomba untuk mengumpulkan yang pasti akan kalian tinggalkan di kemudian hari; takutlah kepada Allah yang pada suatu hari nanti pasti kalian akan dikumpulkan di hadapan-Nya dan kepada-Nya kalian akan hadir; hendaklah kalian mencintai alam yang pasti akan kalian tempati dan kekal di dalamnya (akhirat).”

Demikian tertera dalam kitab Kanzul Ummal (1/69)

Diriwayatkan juga oleh Abu Sa’d Naisaburi dalam Syaraful Musthafa dari Al aqamah bin Harits r.a. Diriwayatkan oleh Asakir, Rusyathi dan Ibnu Asakir dari Suwaid bin Harits, ua menukilkan hadits ini dengan panjang lebar. Ini lebih terkenal sebagaimana tercantum dalam kitab al Ishaabah (2/98). Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab al Hilyah (9/279) dari Suwaid bin Harits r.a., katanya Aku datang dalam suatu delegasi menemui Rasulullah saw. yang berjumlah tujuh orang. Ketika kami masuk menemui Rasulullah saw. dan berbincang-bincang dengan Rasulullah saw., beliau merasa kagum dengan sifat dan sikap kami yang baik. Rasulullah saw. bertanya, “Siapakah kalian?”

Kami menjawab, “Kami orang-orang yang beriman.”

Rasulullah saw. tersenyum kemudian bersabda, “Setiap ucapan itu mempunyai hakikat. Apakah hakikat ucapan dan keimanan kalian?”

Kami menjawab, “Ada lima belas perkara: Lima perkara di antaranya telah diperintahkan oleh para utusan engkau agar kami mengimaninya, lima perkara di antaranya telah diperintahkan oleh para utusan engkau agar kami mengamalkannya, lima perkara di antaaranya telah menjadi sifat kami di masa jahiliyyah. Kami masih memegangnya kecuali  jika engkau tidak menyukai satu bagian darinya.”

Kemudian ia menyebutkan hadits tersebut dengan makna sama seperti di atas, hanya saja ia menyebutkan: “Dan kebangkitan sesudah mati.” Sebagai ganti kalimat: “Takdir, yang baik maupun yang buruk.” Dan ia juga menyebutkan: “Bersabar pada saat musuh bergembira ria.” Sebagai ganti dari kalimat: “tidak merasa gembira dengan suatu musibah yang menimpa kepada musuh.”

Dikutip dari Kitab Hayatush Shahabah Terjemahan Jilid 1 hal. 134-135, Penerbit Pustaka Ramadhan

Selasa, 24 Desember 2013

Berfikir dan Mengambil Pelajaran Sahabat Abu Raihanah, Abu Dzar dan Abu Darda r.hum


 بسم الله الرحمن الرحيم

Dalam kitab  Az Zuhd, Imam Ibnu Mubarak meriwayatkan dari Dhamrah bin Habib, seorang budak milik Abu Raihanah r.a. ia merceritakan: Suatu hari, Abu Raihanah kembali dari medan perang, kemudian ia makan malam lalu berwudhu dan mendirikan shalat di masjid. Kemudian ia membaca satu surat dan terus-menerus di tempatnya itu hingga adzan Shubuh berkumandang.

Istrinya berkata kepadanya, “Wahai Abu Raihanah, engkau telah berperang hingga kelelahan, sekarang engkau telah kembali, apakah tidak ada bagian bagiku dalam dirimu?

Ia menjawab, “Ada, demi Allah, jika aku menyebutkannya, tentu ada satu hak untukmu dalam diriku.”

Istrinya bertanya lagi, “Lalu apa yang menyebabkan engkau sibuk?”

Abu Raihanah menjawab, “Memikirkan sesuatu yang Allah sifatkan di dalam Jannahnya dengan segala kenikmatannya, sampai aku mendengar adzan Shubuh berkumandang.”

Imam Abu Nu’aim meriwayatkan dalam kitab al Hilyah, dari Muhammad bin Wasi’: Ada seorang lelaki yang berkendaraan dari Bashrah menemui Ummu Dzar r.ha. setelah wafatnya Abu Dzar r.a.. Lelaki itu bertanya kepada Ummu Dzar tentang ibadahnya Abu Dzar.”

Ummu Dzar menjawab, “Pada siang hari ia menyendiri sambil bertafakur.”

Imam Abu Nu’aim meriwayatkan juga dalam kitab al Hilyah dari Aun bin Abdillah: Aku bertanya kepada Umu Darda r.ha., “Amal apa yang utamayang sering dilakukan oleh Abu Darda r.a.?”

Ibunya menjawab, “Tafakur dan I’tibar.”

Imam Abu Nu’aim meriwayatkan juga dalam kitab al Hilyah dari Aun bin Abdillah: Ibunya Abu Darda ditanya, amal apakah yang utama yang sering dilakukan oleh Abu Darda r.a.? maka ibunya menjawab, “I’tibar.”

Dan Imam Abu Nu’aim meriwayatkan bahwa Abu Darda r.a. berkata, “Berfikir sesaat itu lebih baik daripada qiyamulail.”

Abu Asakir meriwayatkan bahwa Abu Darda r.a. berkata, “Pada sebagian manusia memiliki kunci-kunci kebaikan, penutup-penutup keburukan dan bagi mereka itu ada pahala. Dan pada sebagian manusia memiliki kunci-kunci kejahatan, penutup kebaikan-kebaikan dan bagi mereka itu mendapatkan dosa, dan tafakur sesaat itu lebih baik dari qiyamulail.

Dalam kitab al Hilyah Abu Nu’aim meriwayatkan dari Hubaib bin Abdullah: Ada seorang lelaki mendatangi Abu Darda r.a. sebelum ia berangkat ke medan perang, lalu berkata, “Wahai Abu Darda nasihatilah aku.” Maka Abu Darda r.a. menjawab, “Berdzikirlah kepada Allah maka Allah akan mengingatmu pada waktu susah dan apabila engkau menjadi mulia karena suatu perkara dunia maka perhatikanlah apa yang akan terjadi.”
Dikutip dari Kitab Hayatush Shahabah Terjemahan Jilid 2 hal. 676-678, Penerbit Pustaka Ramadhan

Minggu, 22 Desember 2013

Derajat Orang beramar Ma’ruf Nahi Mungkar Pada Hari Kiamat


 بسم الله الرحمن الرحيم

Imam Baihaqi dan Naqas dalam Ma’jamih serta Ibnu Nazar, meriwayatkan dari Waqid bin Salamah dari Ruqasi dari Anas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Maukah kalian aku kabarkan mengenai kaum-kaum? Mereka itu bukan dari golongan Nabi dan bukan pula para syuhada, tetapi mereka diberikan derajat oleh Allah pada hari Kiamat seperti para Nabi dan para syuhada. Mereka duduk di atas mimbar-mimbar yang bercahaya.”

Para sahabat bertanya, “Siapakah mereka itu ya Rasulullah?”

Rasulullah saw. menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang mencintai hamba-hamba Allah semata-mata karena Allah dan mereka mencintai Allah melebihi cintanya kepada hamba-hamba-Nya.”
Aku (Anas) berkata, “Inilah kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya, lalu dengan cara bagaimanakah mereka mencintai hamba-hamba Allah semata-mata karena Allah itu?”

Rasulullah saw. bersabda, “Mereka menyeru manusia kepada sesuatu yang disukai Allah dan mencegah manusia dari sesuatu yang dibenci Allah. Oleh karenanya, apabila mereka patuh melaksanakannya, maka Allah swt. Mencintai mereka.”
Dikutip dari Kitab Hayatush Shahabah Terjemahan Jilid 2 hal. 690-691, Penerbit Pustaka Ramadhan

Minggu, 08 Desember 2013

Berita Dari Rasulullah saw. Kepada Umar Tentang Yang Akan Terjadi Di Dalam Kubur


بسم الله الرحمن الرحيم

Ibnu Abi Dunya mengeluarkan hadits dalam kitab Ba’tsa; Abu Syakh dalam kitab As Sunah; Hakim dalam kitab Al Kunna; Baihaqi dalam kitab Azabu Qabri dan selainnya dari Umar r.a., dia berkata: Rasulullah saw. berkata kepadaku, “Wahai Umar bagaimana keadaanmu ketika engkau berada dalam empat dhira’ dari bumi dan lebar dua dhira’ (di dalam kubur), dan engkau melihat Mungkar dan Nakir?”

Lalu Umar r.a. bertanya, “Siapa Mungkar dan Nakir itu?”

Nabi saw. berkata, “Dia adalah dua malaikat dalam kubur, yang menggali kubur dengan kukunya, dan panjang rambutnya, dan suaranya seperti Guntur yang keras, dan sorotan matanya seperti petir yang menyambar, dan mereka membawa gada, jika seluruh ahli bumi berkumpul mengangkat niscaya mereka tidak mampu. Adapun gada kedua malaikat itu lebih ringan dari dari tongkat ini. –sementara di tangan Rasulullah saw. ada tongkat yang di gerak-gerakan – Lalu mereka akan menanyai engkau, apabila engaku tidak bisa menjawab atau engkau lemah menjawab, maka mereka akan memukul engkau dengan satu pukulan yang bisa menjadikan debu.”

Aku berkata, “Wahai Rasulullah! Apakah keadaanku seperti itu?”

Nabi saw. berkata, “Benar.”

Umar r.a. berkata, “Kalau begitu, siapa yang menanggung engkau?”

Sebagaimana diterangkan dalam Kitab Ibnu Katsir juz 8 halaman 121.

Dan Dikeluarkan lagi oleh Said bin Manshur dengan semisalnya, dan Abdul Wahid al Maqdisi di dalam Kitab Tabshir menambahi: Lalu Rasulullah saw. bersabda, “Demi Dzat Yang telah mengutusku dengan perkara yang hak sebagai seorang Nabi, sungguh Jibril telah memberi kabar kepadaku, sesungguhnya akan ada dua malaikat yang akan mendatangi kamu, kemudian mereka akan bertanya kepadamu lalu kamu menjawab, ‘Tuhanku Allah, siapa tuhan kalian?, Muhammad nabiku, siapa nabi kalian?, agamaku Islam, apa agama kalian?’ lalu keduanya berkata, ‘Kami sangat heran! Kami tidak mengetahui, kami diutus untuk kamu atau kamu diutus untuk kami.”

Sebagaimana diterangkan dalam Kitab Riyaadhil An Nadhiiroh juz 2 hal. 34.

Dikutip dari Kitab Hayatush Shahabah Terjemahan Jilid 3 hal. 116-117, Penerbit Pustaka Ramadhan

Selasa, 12 November 2013

Kisah Abu Thalhah al Anshari r.a. Memberi Makan


 بسم الله الرحمن الرحيم

Diriwayatkan oleh Muslim (2/178) dari Anas r.a. katanya: Abu Thalhah r.a. berkata kepada Ummu Sulaim r.ha., “Sesungguhnya aku mendengar suara Rasulullah saw. yang lemah. Aku tahu suara baginda saw. menjadi demikian karena rasa lapar. Adakah kamu mempunyai sesuatu untuk dimakan?”

Ummu Sulaim pin menjawab, “Ya.” Lalu dia mengeluarkan beberapa potong roti yang terbuat dari tepung syair.

Lantas Ummu Sulaim mengambil kain khimarnya (kerudungnya) dan membungkus semua roti itu dengan sebakian kain tersebut. Ia pun memasukkan bungkusan itu ke bawah bajuku (Anas), melilitkan sisa kain itu pada badanku, lalu mengutusku menemui Rasulullah saw..

Aku (Anas) pun membawa bungkusan yang berisi roti itu. Aku dapati beliau saw. sedang duduk di dalam masjid bersama orang banyak, lalu aku berdiri di hadapan mereka. Rasulullah saw. bersabda, “Apakah engkau diutus oleh Abu Thalhah?”

Aku menjawab, “Ya.”

Kemudian beliau saw. bertanya lagi, “Apakah kamu datang untuk mengundang kami menghadiri jamuan makan?”

Aku berkata, “Ya.”

Maka Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabat yang duduk bersamanya, “Bangunlah kalian?”

Lalu Rasulullah saw. meninggalkan tempat itu menuju ke rumah Abu Thalhah dengan para sahabatnya. Aku berjalan di depan mereka hingga aku sampai kepada Abu Thalhah dan memberitahunya. Abu Thalhah pun berkaya kepada istrinya, “Hai ummu Sulaim! Sesungguhnya Rasulullah saw. telah datang dengan orang banyak. Dan kita tidak mempunyai makanan yang cukup untuk mereka semua.”

Ummu Sulain pun menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”

Abu Thalhah pun pergi hingga bertemu Rasulullah saw. Lalu Rasulullah saw. datang bersama Abu Thalhah. Keduanya masuk ke dalam rumah lalu beliau bersabda kepada Ummu Sulaim, “Bawalah kemari apa saja yang ada padamu, hai Ummu Sulaim.”

Lalu Ummu Sulaim datang dengan membawa roti itu. Rasulullah saw. memerintahkan supaya roti itu dipecah-pecah. Ummu Sulaim pun memeras wadah minyak samin di atasnya, dan memberikan lauk ke dalamnya. Kemudian Rasulullah saw. berdo’a untuk keberkatan makanan itu sepanjang yang dikehendaki Allah. Setelah itu Rasulullah saw. bersabda, “Izinkanlah masuk sebanyak sepuluh orang.”

Para sahabat yang datang itu pun diizinkan masuk sehingga mereka makan dan merasa kenyang. Lalu mereka keluar. Kemudian beliau bersabda lagi, “Izinkanlah masuk sebanyak sepuluh orang.” Sampai semua yang hadir makan dan merasa kenyang. Sedang jumlah mereka adalah tujuh puluh atau delapan puluh orang.

Diriwayatkan juga oleh al Bukhari dari Anas serupa dengan hadits itu, sebagaimana tercantum dalam al Bidayah ( 6/105), juga oleh al Imam Ahmad, Abu Ya’la dan al Baghawi, sebagaimana telah dipaparkan jalur-jalur periwayatan hadits-hadits mereka dan lafaz-lafaz mereka dalam al Bidayah. Dan diriwayatkan juga ole ath Thabrani dan ia menambahkan: Jumlah merka adalah sekitar seratus orang. Sedang para rawi keduanya adalah rawi-rawi sahih.

Dikutip dari Kitab Hayatush Shahabah Terjemahan Jilid 2 hal. 190-191, Penerbit Pustaka Ramadhan

Jumat, 13 September 2013

Beberapa Kisah Para Sahabat Perihal Meminta Izin

 بسم الله الرحمن الرحيم

Dikeluarkan oleh al Baihaqi dari Amir bin Abdullah bahwa hamba perempuannya pergi menemui Umar al Khaththab r.a. bersama dengan anak perempuan az Zubair. Ia berkata, “Bolehkah saya masuk?”

Umar r.a. berkata, “Tidak.”

Hamba perempuan itu pun pulang setelah mendengar jawaban Umar.

Kemudian Umar r.a. kepada hambanya, “Panggillah hambap perempuan itu dan katakan kepadanya agar mengucapkan, ‘Assalamu’alayka! Bolehkah saya masuk?” (al Kanz)

Dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad dari Aslam, katanya: Umar r.a. berkata kepadaku, “Jangan izinkan orang menemuiku dan jangan mengambil apa-apa dari mereka.”
Pada suatu hari, ia melihatku memakai sehelai pakaian baru, lalu ia bertanya kepadaku, “Dari mana kamu peroleh baju itu?”

Aku menjawab, “Ubaidullah bin Umar telah menghadiahkannya kepadaku.”

Umar pun berkata, “Jika diberi oleh Ubaidullah, maka terimalah tetapi jika diberi oleh orang selain darinya, jangan kamu terima.”

Aslam berkata: “Az Zubair datang dan aku berdiri di pintu. Ia telah meminta izin unuk masuk. Aku pun berkata kepadanya, “Amirul mukminin sedang sibuk sekarang.”

Ia pun mengangkat tangannya lalu memukul belakang telingaku satu kali sehingga aku menjerit kesakitan. Aku pun masuk menemui Umar, lalu Umar bertanya kepadaku, “Apa yang telah terjadi padamu?”

Aku menjawab, “Az Zubair  memukulku.” Lalu aku menerangkan kepadanya mengenai yang telah terjadi di antara aku dan Az Zubair.

Umar r.a. berkata, “Demi Allah! Aku akan menemuinya.”

Umar kemudian menyuruhku memanggil az Zubair agar bertemu dengannya. Az Zubair pun masuk, lalu Umar r.a. bertanya, “Mengapa kamu memukul hamba ini?”

Az Zubair berkata, “Ia telah menghalangiku untuk bertemu denganmu.”

Maka Umar r.a. pun berkata, “Benarkah ia berkata kepadamu, ‘Bersabarlah sebentar karena Amirul mukminin sedang sibuk?’. Mengapa kamu tidak menerima alas an yang ia katakan? Demi Allah! Sesungguhnya apabila binatang liar diciderai oleh binatang liar, maka ia akan dimakan oleh binatang liar itu.” Maksudnya, apabila kamu (sahabat nabi yang unggul) turut memukul hamba ini, maka orang awam akan merasa berani untuk memukulnya, menghina dan menyakitinya. Karena perbuatan orang khusus biasanya diikuti oleh orang umum. (al Kanz)

Dikeluarkan oleh al Bukhari dalam al Adab al Mufrid dari Zaid bin Tsabit bahwa Umar bin Khaththab r.a. datang menemuinya pada suatu hari. Umar r.a. meminta izin untuk menemuinya, lalu ia mengizinkannya. Ketika itu tangan hamba perempuannya berada di atas kepala Zaid, sedang menyisir rambut Zaid.

Umar berkata, “Biarkanlah hamba perempuan itu menyisir rambutmu.”

Zaid berkata, “Ya Amirul mukminin! Jika saja engkau mengutus seseorang untuk memanggilku, niscaya aku akan datang menemuimu.”

Umar r.a. berkata, “Sesungguhnya aku berhajat untuk bertemu denganmu (karena itu akulah yang harus mendatangimu).”

Dikeluarkan oleh ath Thabrani dari seorang lelaki. Lelaki itu berkata, “Kami telah meminta izin dari Abdullah bin Mas’ud r.a. untuk masuk menemuinya setelah shalat shubuh, lalu ia mengizinkan kami menemuinya. Ia pun meletakan sehelai kain pada istrinya seraya berkata kepadanya, “Aku tidak suka membuatmu menunggu-nunggu.”

Dari Abu Musa bin Thalhah r.a., katanya: Aku masuk menemui ibuku bersama dengan bapakku. Ketika ia masuk ke dalam, aku pun turut mengikutinya. Ia menahanku dengan tangannya di dadaku lalu mendudukan aku di atas punggungnya. Kemudian ia berkata, “Apakah engkau ingin masuk tanpa izinku?”

Sanadnya Shahih oleh al Hafizh dalam al Fath

Dikeluarkan juga oleh al Bukhari dari Muslim bin Nazir, katanya: Seorang lelaki masuk menemui Huzaifah r.a.. lelaki itu berkata, “Bolehkah aku masuk?”

Huzaifah berkata, “Sesungguhnya matamu telah masuk, sebelum punggungmu masuk?”

Lelaki itu berkata, “Apakah aku juga harus meminta izin dari ibuku apabila aku ingin masuk menemuinya?”

Huzaifah berkata, “Sekiranya kamu tidak meminta izin untuk masuk, mungkin akan terpandang olehmu sesuatu yang tidak menggembirakan kamu.”

Dikeluarkan oleh Ahmad dari Abu Sawid al Abdi, katanya: Kami datang menemui Ibnu Umar lalu duduk di muka pintu rumahnya agar kami diizinkan masuk. Namun izin itu belum aku peroleh juga, Aku pun mengintainya melalui lubang pintu itu. Maka terpandang olehku yang ada di dalamnya.

Ibnu Umar sedang berkeliling ketika aku sedang mengintip itu. Ketika ia mengizinkan kami masuk, maka kami pun masuk dan duduk di dalamnya.

Ibnu Umar berkata, “Siapakah di antara kalian yang barusan mengintip?”

Aku menjawab, “Aku.”

Ibnu Umar berkata lagi, “Apa yang menghalalkan kamu untuk mengintip rumahku?”

Aku berkata, “Kami terlalu lama mendapatkan izin masuk, lalu aku mengintip dari lubang pintu itu secara tak sengaja.”

Ibnu Umar telah bertanya mengenai berbagai hal. Aku berkata, “Ya ayahnya Abdur Rahman! Apakah pendapatmu mengenai Jihad?”

Ibnu Umar, menjawab, “Barang siapa yang berjihad, maka sesungguhnya ia berjihad untuk dirinya sendiri.”

Dikutip dari Kitab Hayatush Shahabah Terjemahan Jilid 2 hal. 562-564, Penerbit Pustaka Ramadhan