Pages

Tampilkan postingan dengan label Kesabaran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kesabaran. Tampilkan semua postingan

Rabu, 21 Mei 2014

Rasa Syukurnya Rasulullah saw.



 بسم الله الرحمن الرحيم

Dari Abdurrahman bin Auf r.a., katanya: Suatu ketika Rasulullah saw. keluar dari rumah kemudian naik ke loteng. Begitu berada di loteng beliau langsung sujud dan tetap bersujud dalam waktu yang sangat lama, sehingga aku mengira beliau telah wafat dalam keadaan seperti itu.

Aku pun naik menyusul beliau, dan kemudian Rasulullah saw. mengangkat kepala dan bertanya siapa yang naik. Aku menjawab bahwa aku yang naik.

Rasulullah saw. betanya, “Ada keperluan apa?”

Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, engkau telah melakukan sujud begitu lama sehingga saya khawatir kalau-kalau engkau telah wafat.”

Rasulullah saw. bersabda, “Jiblil telah datang kepadaku dan membawa kabar gembira, Allah swt. berfirman bahwa siapa saja yang mengirim salawat kepadaku, maka Allah akan memberikan rahmat-Nya, dan bagi siapa saja yang mengirim salam kepadaku, maka Allah akan mengaruniakan kedamaian kepadanya. Atas karunia inilah aku bersyukur kepada Allah dengan melakukan sujud.”

Dari Mu’adz bin Jabal r.a.: Aku menjumpai Rasulullah saw. dan mendapati beliau sedang berdiri dalam shalat. Beliau tetap dalam posisi berdiri hingga pagi. Kemudian beliau sujud dalam waktu yang sangat lama. Maka aku mengira, barangkali Rasulullah saw. telah wafat.

Ketika beliau selesai shalat, beliau bertanya kepadaku, apakah aku tahu mengapa beliau melakukan sujud demikian panjang.

Maka aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.”

Rasulullah saw. mengulangi kata-kata ini tiga atau empat kali kemudian bersabda, “Aku telah mendirikan shalat sebagaimana yang Allah kehendaki, kemudian Allah berkata kepadaku, ‘Apa yang harus Aku lakukan untuk umatmu?’ Aku berkata kepada Allah, ‘Engkau yang lebih mengetahui.’ Allah mengatakan hal ini kepadaku tiga atau empat kali, kemudian Allah memberitahuku bahwa Dia tidak akan membuatku bersedih karena umatku. Maka karena inilah aku menyatakan syukur kepada-Nya dan Dia berhak menerima syukur dan mencintai mereka yang bersyukur.”

Dari Abdurrahman bin Abu Bakar r.a. katanya: Aku datang menjumpai Rasulullah saw. dan ketika itu wahyu sedang turun kepada beliau.

Ketika wahyu itu selesai diturunkan, Rasulullah saw. berkata, “Wahai Aisyah, berikan kepadaku kain selimut.”

Kemudian beliau keluar dan memasuki masjid dan kebetulan ada beberapa orang lelaki di sana. Maka beliau duduk di antara mereka dan berbicara dengan mereka. Setelah pembicaraan selesai, beliau membaca Surat as Sajdah kemudian sujud. Beliau sujud sangat lama sehingga cukup melakukan perjalanan dua mil.

Mendengar berita ini orang-orang berdatangan ke masjid sehingga masjid penuh sesak. Aisyah r.ha. menyuruh seseorang pergi memberi tahu ayahnya bahwa dia telah melihat sesuatu yang belum pernah dia lihat sebelumnya dan meminta ayahnya datang.

Kemudian Rasulullah saw. mengangkat kepala, lalu Abu Bakar r.a. bertanya kepada beliau, “Mengapa engkau bersujud begitu lama, Ya Rasulullah?”

Rasulullah saw. berkata, “Allah telah memberi tahuku bahwa Dia akan mengizinkan 70.000 umatku memasuki Jannah tanpa hisab. Oleh sebab itulah aku melakukan sujud sebagai tanda syukur.”

Abu Bakar r.a. berkata, “Wahai Rasulullah, umatmu jauh lebih besar jumlahnya dari angka itu. Engkau seharusnya meminta lebih banyak lagi.”

Rasulullah saw. mengulangi lagi kata-kata 70.000, dua atau tiga kali. Kemudian Umar r.a. berkata, “Wahai Rasulullah, semoga orang tua saya dikorbankan untukmu, engkau telah mendapatkan perkara ini untuk umatmu.”

Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., katanya: Ada seorang lelaki pincang lewat depan Rasulullah saw. kemudian beliau turun dari kendaraan beliau dan mengerjakan sujud sebagai tanda bersyukur. Lalu Abu Bakar r.a. melewati beliau, kemudian beliau pun turun lagi dari kendaraannya dan sujud lagi. Kemudian Umar r.a. melewati beliau dan beliau pun turun dari kendaraan dan sujud syukur lagi.

Dari Ali r.a., meriwayatkan: suatu ketika Rasulullah saw. mengirim beberapa anggota keluarga beliau dalam suatu peperangan dan berdo’a dengan kata-kata berikut ini: “Ya Allah, jika Engkau selamatkkan orang-orang ini, saya akan bersyukur kepada-Mu sebanyak yang pantas bagi-Mu.”
Setelah beberapa hari orang-orang itu kembali dalam keadaan selamat maka Rasulullah saw. berkata, “Segala puji bagi Allah atas seluruh karunia-Nya.”

Aku berkata, “Wahai Rasulullah, engkau telah berkata bahwa jika Allah menyelamatkan orang-orang ini, engkau akan bersyukur kepada Allah sebanyak yag pantas.”

Rasulullah saw. bersabda, “Tidakkah aku telah mengucapkan syukur kepada-Nya?”

Dikutip dari Kitab Hayatush Shahabah Terjemahan Jilid 2 hal. 649-651, Penerbit Pustaka Ramadhan

Rabu, 25 Desember 2013

Mujahadah Ummu Salamah Dalam Menanggung Penderitaan

 بسم الله الرحمن الرحيم

Ayah Ummu Salamah adalah seorang pembesar dari kalangan Banu Makhzum dan termasuk orang yang dermawan dan ternama dari bangsa Arab. Suaminya adalah Abdullah bin Abdul Asad, salah seorang  dari sepuluh orang pertama memeluk Islam. Sebelumnya tiada seorang pun yang memeluk Islam selain Abu Bakar r.a. dan beberapa orang lelaki yang tidak lebih dari sepuluh orang.

Namanya adalah Hindun dan gelarnya adalah Ummu Salamah, kemudian ia lebih ddikenal dengan nama Ummu Salamah. Ummu Salamah dan suaminya telah memeluk Islam. Ummu Salamah juga termasuk di antara wanita-wanita yang pertama-tama memeluk Islam. Ketika berita keIslaman mereka semakin tersebar di kalangan orang-orang Quraisy, mereka menjadi marah dan membuat berbagai tipu daya terhadap Ummu Salamah dan suaminya. Mereka telah mendera dan menyakitinya, namun semua itu tidak dapat menghalangi Ummu Slamah dan suaminya untuk tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Ketika penderitaan dan siksaan yang dilakukan oleh orang-orang Quraisy terhadap sepasang suami istri itu semakin menjadi-jadi, Rasulullah saw. mengijinkan keduanya untuk berhijrah ke Habsyah. Keduanya termasuk dalam rombiongan pertama yang berhijrah ke Habsyah.

Karena itu, Ummu Salamah dan suaminya mengembara di tempat orang dengan meninggalkan rumahnya di Makkah, kemasyhuran, dan garis turunannya yang tidak dipakai lagi, semata-mata untuk mengharapkan ganjaran dan keridhaan Allah swt.

Walaupun mereka mendapat perlakuan yang baik dari raja Habsyah, an Najasyi, akan tetapi kerinduan kepada tanah kelahirannya Makkah, tempat turunnya wahyu, tetap membara dalam hati mereka. Kasih sayangnya kepada Rasulullah saw. seakan-akan menuntun jiwa mereka untuk kembali ke Makkah dan ridha menerima siksaan dari orang-orang Quraisy asal dapat berdampingan dengan Rasul yang mulia dan melihat wajahnya yang bercahaya. Semua itu mununtun qolbunya agar kembali ke Makkah.

Kemudian datanglah berita dari orang-orang yang berhijrah bahwa jumlah orang Islam di Makkah semakin bertambah banyak dan Ke-Islaman Hamzah bin Abdul Muththalib serta Umar bin Khaththab telah menambah kekuatan mereka untuk mengurangi siksaan dari orang-orang Quraisy terhadap orang Islam. Lalu mereka bertekad untuk kembali saja ke Makkah karena kerinduan dan kasih sayangnya kepada Rasulullah saw. yang tidak tertahankan. Ummu Salamah dan suaminya adalah yang pertama kali kembali ke Makkah dari kalangan mereka.

Akan tetapi berita mengenai bertambahnya jumlah orang-orang Islam si Makkah itu hanya kabar angin saja dan penyiksaan terhadap orang-orang Islam yang dikabarkan telah berkurang setelah ke-Islaman Hamzah dan Umar hanyalah rekaan semata-mata, bahkan siksaan dan kekejaman orang-orang Quraisy itu semakin bertambah hebat. Bahkan, semakin banyak fitnah dan siksaan yang dilakukan orang-orang Quraisy itu dibandingkan sebelum kedua pemuka Quraisy itu masuk Islam. Dengan demikian, Rasulullah saw. mengijinkan mereka agar berhijrah ke Madinah. Maka Ummu Salamah dan suaminya bertekad untuk menyertai orang-orang Islam hijrah ke Madinah sebagaimana diperintahkan oleh Rasulullah saw. dan termasuk rombongan pertama yang berhijrah demi menyelamatkan iman dan agama dari penindasan orang-orang Quraisy.

Walau bagaimana pun, hijrahnya Ummu Salamah dan suaminya tidaklah semudah seperti yang diinginkannya. Hijrah mereka kali ini benar-benar merupakan ujian keimanan bagi mereka dengan cobaan berat yang harus ditanggung oleh suami istri itu.

Ummu Salamah menceritakan:
Ketika Abu Salamah (suaminya) telah sepakat untuk pergi ke Madinah, ia mengikatku di atas punggung untanya. Ia membawaku di atas unta itu dan meletakkan anakku, Salamah bin Abu Salamah di pangkuanku. Ia munutun unta itu tanpa berhenti atau singgah di mana pun.

Sebelum kami bertolak dari Makkah, kaum lelaki dari Bani al Mughirah, yaitu kaumku, telah melihatnya, mereka menghentikannya dan berkata, “Apakah dirimu sendiri mampu mengalahkan kami untuk membela wanita itu? Tidakkah kamu lihat saudara wanita kami ini, atas dasar apa kami membiarkanmu berjalan membawanya di berbagai negeri?”

Kemudian mereka merebut tali kendali unta dari tangan Abu Salamah dan mengambilku darinya.

Ketika kaum suamiku, Bani Abdul Asad melihat mereka merampas aku dan anakku, mereka sangat marah dan berkata, “Demi Allah! Kami tidak akan membiarkan putera kami dibawa oleh wanita itu, karena kalian telah merebut wanita itu dari tangan saudara kami.”

Kemudian mereka merebut anakku, Salamah, dari kaumku di hadapanku hingga berhasil membawanya pergi.

Lalu Bani Abdul Asad membawanya pergi, sedang Bani al Mughirah menahanku di tengah mereka, sementara Abu Salamah, suamiku, berangkat menuju Madinah. Sehingga aku dipisahkan dari suami dan puteraku. Setiap pagi aku keluar dan duduk di al Athbah,1 lalu tiada hentinya aku menangis. Demikian itu berlangsung sampai satu tahun atau sekira itu. Sampai akhirnya seorang laki-laki di antara putera pamanku dari kalangan Bani Mughirah melewatiku dan melihat keadaanku, lalu merasa kasihan padaku. Dia berkata kepada Bani Mughirah, “Tidakkah kalian keluarkan saja wanita miskin itu, karena kalian telah memisahkan antara dia, suaminya dan puteranya?”

Ia terus menerus membujuk hingga melembutkan hati mereka. Mereka berkata kepadaku, “Pergilah susullah suamimu jika kamu mau.”

Pada saat itulah Bani Abdul Asad mengembalikan puteraku padaku. Aku kendarai untaku, lalu kuambil puteraku dan kuletakkan di pangkuanku. Lantas aku berangkat dengan maksud menemui suamiku di Madinah. Dan tiada seorang pun yang menemaniku.

Ketika aku sampai di Tan’im, aku berjumpa dengan Utsman bin Thalhah2 bin Abu Thalhah dan ia bertanya kepadaku, “Ke manakah tujuanmu, wahai anak perempuan Abu Umayyah?”

Aku menjawab, “Aku ingin bertemu dengan suamiku di Madinah.”

Ia bertanya lagi, “Adakah seseorang yang menemanimu?”

Aku menjawab, “Tiada seorang pun yang bersamaku selain Allah dan puteraku ini.”

Kata Utsman, “Demi Allah, kamu tidak pantas ditinggalkan begitu saja.”

Kemudian ia memegang tali kendali unta itu dan menuntunnya dengan cepat. Demi Allah, aku belum pernah bersahabat dengan seorang lelaki dari kalangan orang Arab yang lebih mulia dan baik hati darinya. Bila sampai di tempat istirahat, ia menjauhkan diri dengan untaku dan melepas pelana darinya. Ia mengikatkannya pada pohon, lalu menyingkirkan ke pohon lain dan berbaring di bawahnya.

Bila waktu berjalan sudah dekat, ia bangkit menuju untaku dan menaikinya, lalu menyingkir dariku seraya berkata, “Naiklah.”

Takkala aku sudah naik di atas untaku dan duduk sempurna, ia pun menghampiri dan memegang tali kendalinya dan menuntun unta itu sampai menurunkan aku lagi.

Ia terus melakukan hal itu sehingga membawaku tiba di Madinah. Ketika kami sampai ke kampong yang bernama Quba’ (dua batu dari Madinah) yang didiami Bani ‘Amr bin ‘Auf, ia berkata kepadaku, “Suamimu tinggal di kampong itu, maka masuklah ke kampong itu dengan berkat Allah.”

Kemudian ia pun pulang ke Makkah. Ummu Salamah selalu berkata: Aku tidak mengetahui ada suatu keluarga di dalam Islam yang ditimpa musibah seperti menimpah keluarga Abu Salamah. Dan aku tidak melihat seorang sahabat pun yang lebih mulia daripada Utsman bin Thalhah (bin Abu Thalhah).

Utsman bin Thalhah bin Abu Thalhah al Adawi r.a. masuk Islam sesudah perjanjian Hudaibiyah dan berhijrah bersama Khalid bin al Walid r.a.. Demikian tercantum dalam kitab al Bidayah (juz 3, hal. 169).

Abu Salamah berkesempatan menyertai Rasulullah saw. dalam perang Badar dengan kembali membawa kemenangan, dan mereka telah memperoleh pertolongan Allah dengan pertolongan yang sesungguhnya.

Kemudian tiba pula perang Uhud setelah kemenangan umat Islam di medan Badar. Dalam perang Uhud itu, Abu Salamah mengalami luka parah. Ia terus berusaha untuk mengobati luka parahnya hingga ia menganggapnya telah cukup sembuh. Namun ternyata lukanya itu semakin parah hingga menyebabkan Abu Salamah terpaksa berbaring saja di tempat tidurnya.

Ketika Abu Salamah berusaha mengobati lukanya, ia berkata kepada istrinya, “Hai Ummu Salamah, aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Tiada seseorang ditimpa musibah lalu ia berdo’a, ‘Ya Allah, hanya kepada-Mulah aku mengharapkan ganjaran karena musibah yang menimpa diriku itu. Ya Allah, gantilah musibah itu dengan kebaikan.’ Melaikan Allah akan mengaruniakan kebaikan itu kepadanya.”

Abu Salamah menghabiskan waktunya yang panjang dengan berbaring saja di tempat tidurnya. Pada suatu pagi, ia didatangi Rasulullah saw.. Tidak lama setelah Rasulullah saw. meninggalkan Abu Salamah, Abu Salamah meninggal dunia.

Rasulullah saw. merapatkan kedua mata Abu Salamah dengan kedua tangannya yang mulia. Kemudian Rasulullah saw. mengangkat matanya ke langit dan berdo’a, “Ya Allah, ampunilah Abu Salamah, tinggikanlah derajatnya di kalangan orang-orang muqarrabin, dan gantikanlah ia di tenga keluarganya, ampunilah kami dan ia wahai Rabb sekalian alam. Serta lapangkanlah dan terangilah kuburnya.”

Ummu Salamah teringat dengan perkataan Abu Salamah dari Rasulullah saw., lalu ia berkata,
اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيْبَتِي وَاخْلُفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا
“Ya Allah, hanya kepada-Mu aku mengaharapkan balasan terhadap musibah yang menimpah diriku ini.”

Walau bagaimana pun, ia tidak merasa enak hati untuk berdo’a agar mendapatkan seorang suami sebagai ganti Abu Salamah, yang lebih baik dari Abu Salamah. Karena menurutnya tidak ada seorang pun yang lebih baik dari Abu Salamah.

Semua orang Islam bersedih hati dengan wafatnya Abu Salamah dengan kesedihan yang tiada taranya dibandingkan kematian orang lain. Lalu Ummu Salamah diberi gelar “wanita yang kehilangan suami.”

Ia tidak memiliki orang lain di Makkah selain anak lelakinya itu.

Orang-orang Muhajirin dan Anshar merasakan kesedihan atas musibah yang menimpah Ummu Salamah hingga Abu Bakar datang meminangnya, tetapi ia menolaknya. Kemudian datang Umar bin Khaththab meminangnya, dan ia pun menolaknya. Kemudian Rasulullah saw. datang meminangnya, dan Ummu Salamah berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku masih memiliki tiga sifat, yaitu: pertama, aku sangat mencintai dan masih mengingat suamiku Abu Salamah, karena itu aku takut sekiranya tuan akan mendapatkan sesuatu padaku yang dapat menimbulkan amarah tuan, yang disebabkan itu Allah akan mengazabku. Kedua, aku seorang wanita yang sudah tua. Dan ketiga, aku seorang wanita yang tidak mempunyai apa-apa (miskin).

Rasulullah saw. berkata kepadanya, “Adapun kenangan dan kecintaan kepada suami, aku akan berdo’a kepada agar Allah menghilangkannya darimu. Sedangkan mengenai usia tua, aku pun semakin hari semakin tua. Adapun kemiskinanmu adalah kemiskinanku juga.”

Kemudian Rasulullah saw. menikahi Ummu Salamah dan Allah swt. Mengabulkan do’anya. Allah telah mengganti Abu Salamah dengan orang yang lebih baik darinya, yaitu Rasulullah saw.. sejak saat itu Ummu Salamah tidak hanya menjadi ibunda dari anaknya, Salamah, akan tetapi menjadi Ibu dari sekalian orang-orang yang beriman (Ummahatul mukminin). Allah menyinari wajah Ummu Salamah dalam Jannah dan Allah ridha kepadanya.

Sebagaimana dalam Asadul Ghabah, Tahdzibur Tahdzib, al Bidayah wan Nihayah, dan Taqribut Tahdzib.
1 Itu merupakan saluran air antara Makkah dan Madinah. Batasnya dengan Mina adalah gunung al ‘Irah, yang dekat dengan jalan as Sit yang terletak pada perjalanan menuju Mina, menurut yang biasa disebut orang banyak. Ia dinamakan juga: (tempat istirahat Bani Kinanah) ini merupakan tempat istirahat orang-orang Quraisy untuk bersumpah setia di atas kekafiran. Ini juga dinamakan (al Abthah) dan (al Bath-ha’) yaitu lembah yang terbentang luas, dan (Shafiy al Bab). Ibnu Hajar menambahkan: Juga dinamakan (al Mu’arras). Kami berkata: pada hari ini dikenal dengan nama (al Ma’abidah), yang dinisbatkan pada nama seorang perempuan bernama Ummu ‘Abid yang dahulu tinggal di tempat itu, seperti dikatakan oleh para penduduk Makkah yang panjang umurnya. Hasyiyah al Azraqi (2/160)

2 Utsman bin Thalhah adalah penjaga Baitullah pada zaman jahiliyyah, ia memeluk Islam bersama-sama dengan Khalid bin Walid dan turut menyertai Rasulullah saw. pada pembukaan Makkah, lalu Rasulullah saw. menyerahkan kunci Ka’bah itu kepadanya. Namun ketika ia menemui Ummu Salamah, ia masih musyrik.

Dikutip dari Kitab Hayatush Shahabah Terjemahan Jilid 1 hal. 408 - 413, Penerbit Pustaka Ramadhan

Rabu, 11 September 2013

Kesabaran Ammar bin Yasir dan Keluarganya Dalam Menanggung Penderitaan di Jalan Allah

 بسم الله الرحمن الرحيم


Diriwayatkan oleh ath Thabrani, al Hakim, al Baihaqi dan Ibnu Asakir dari Jabir r.a., katanya: Rasulullah saw. melewati Ammar dan keluarganya yang sedang disiksa. Rasulullah saw. berkata kepada mereka, “Berita gembira bagi kalian wahai keluarga Yasir, Karena sesungguhnya yang dijanjikan Allah kepada kalian adalah Jannah.”

Al Haitsami (9/293) mengatakan bahwa perawi-perawinya adalah shahih, selain Ibrahim bin Abdul Aziz al Muqawwim. Dia adalah tsiqat.

Dalam riwayat Abu Ahmad al Hakim dalam al Kuna dan Ibnu Asakir dari Utsman r.a., katanya: Ketika aku sedang berjalan bersama Rasulullah saw. di al Bath-ha’.tiba-tiba terlihat Ammar dan kedua orang tuanya sedang disiksa di bawah terik matahari agar mereka murtad dari agama Islam. Ayah Ammar berkata, “Wahai Rasulullah! Apakah aku akan melewatkan sepanjang masa dengaan begini?”

Rasulullah saw. menjawab, “Bersabarlah wahai keluarga Yasir! Yaa Allah, ampunilah keluarga Yasir dan sesungguhnya Engkau telah mengampuni mereka.”

Diriwayatkan oleh Ahmad, al Baihaqi, al Baghawi dan al Uqaili, Ibnu Mandah, Abu Nu’aim dan yang lainnya dari Utsman r.a., dengan isi sama, sebagaimana tertera dalam al Kanz (7/72). Ibnu Sa’d meriwayatkannya (juz 3, hal.177) dari Utsman r.a. semisal itu.

Diriwayatkan oleh Abu Ahmad al Hakim dari Abdullah bin Ja’far r.hum., katanya: Rasulullah saw. melewati Ammar, ayahnya, Yasir dan ibunya, Sumayyah yang sedang disiksa karena keimanan mereka kepada Allah. Rasulullah saw. bersabda kepada mereka, “Bersabarlah kalian wahai ahli keluarga Yasir, bersabarlah kalian wahai ahli keluarga Yasir, karena sesungguhnya yang dijanjikan untuk kalian adalah Jannah.”

Diriwayatkan oleh Ibnu al Kalbi dari Ibnu Abbas r.hum. semisal hadits itu, dengan tambahan: dan Abdullah bin Yasir. Dia juga menambahkan: Abu Jahal telah menombak kemaluan Sumayyah hingga ia mati syahid. Suaminya, Yasir juga mati syahid akibat siksaan itu. Sementara anaknya, Abdullah bin Yasir telah dipanah hingga jatuh. Sebagaimana tertera dalam al Ishabah (3/647).

Dalam riwayat Ahmad dari Mujahid dikatakan: Orang yang pertama syahid dalam Islam adalah Ibunda Ammar, yaitu Sumayyah yang ditombak oleh Abu Jahal pada kemaluannya. Sebagaimana tercantum dalam al Bidayah (3/59)

Kerasnya siksaan atas Ammar sampai dia dipaksa untuk mengucapkan kata-kata kufur sedang hatinya merasa tenang dengan keimanan.

Diriwayatkan oleh Abu Nuaim dalam kitab al Hilyah  (1/140) dari Ubaidah bin Muhammad bin Ammar, katanya: orang-orang musyrik telah menangkap Ammar r.a. dan menyiksa Ammar. Mereka tidak menghentikan siksaannya sampai ia memaki Rasulullah saw. dan memuji tuhan-tuhan mereka.

Ketika Ammar menemui Rasulullah saw., beliau bertanya kepadanya, “Apa yang telah terjadi padamu?”

Jawab Ammar, “Kejahatan, wahai Rasulullah! Aku tidak dibebaskan oleh mereka hingga aku mencacimu dan menyebut kebaikan tuhan-tuhan mereka.”

Rasulullah saw. bersabda, “Bagaimana hatimu dalam keadaan itu?”

Jawab Ammar, “Hatiku merasa tenang dengan keimanan.”

Kata Rasulullah saw., “Jika mereka mengulangi perbuatan itu perbuatan itu kepadamu, maka hendaknya kamu ulangi lagi apa yang telah kamu katakan kepada mereka.”

Diriwayatkan juga oleh Ibnu Sa’d (3/178) dari Abu Ubaidah seperti hadits itu. Juga diriwayatkan Ibnu Sa’d dari Muhammad: Bahwa Nabi saw. menemui Ammar yang sedang menangis dan beliau menyapu kedua matanya sambil berkata, “Engkau telah disiksa oleh orang-orang musyrik itu dengan dibenamkan ke dalam air. Lalu engkau mengatakan ini dan itu (memaki Rasulullah saw. dan memuji tuhan-tuhan mereka). Sekiranya mereka melakukan yang demikian itu lagi, katakan sebagaimana yang telah engkau katakan sebelum ini.”

Diriwayatkan juga oleh Ibnu Sa’d dari Amr bin Maimun, katanya: Orang-orang musyrik membakar Ammar bin Yasir dengan Api (yang diletakkan di bawahnya, sedangkan Ammar digantung di atasnya). Ketika itu Rasulullah saw. melewati tempat itu dan mengusap kepada Ammar sambil berdo’a, “Wahai api, jadilah kamu dingin dan sejahtera bagi Ammar sebagaimana engkau pernah menjadi demikian untuk Ibrahim a.s. engkau (hai Ammar), akan dibunuh oleh kelompok pemberontak.” (Sabda Nabi saw. ini terjadi pada perang Shiffin).

Dikutip dari Kitab Hayatush Shahabah Terjemahan Jilid 1 hal. 351-353, Penerbit Pustaka Ramadhan