Pages

Jumat, 06 September 2013

Dakwah Rasulullah saw. Kepada Abu Thalib Sebelum Meninggal Dunia


بسم الله الرحمن الرحيم

Menurut Ishaq, dari Ibnu Abbas r.a. –seperti tersebut dalam al Bidayah (3/123) – dia berkata: Ketika pemuka-pemuka kaum Quraisy berjalan menuju rumah Abu Thalib untuk berbicara kepadanya, mereka terdiri dari ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Abu Jahal bin Hisyam, Umayyah bin Khalaf, dan Abu Sufyan bin Harb yang merupakan orang-orang terhormat dari kalangan kaum Quraisy. Mereka berkata, “Wahai Abu Thalib, sesungguhnya engkau mengetahui kedudukanmu di sisi kami. Maut hampir menjemputmu pulang. Kami sangat mengkhawatirkan kehormatanmu di kalangan kami. Engkau mengetahui apa yang sedang terjadi antara kami dengan keponakanmu (berkaitan dengan gakwah Rasulullah saw.). Panggillah ia dan ambillah janji darinya agar ia mau mencegah dirinya dari mencela kami dan kami pun akan berhenti mengganggunya supaya ia membiarkan kami dengan agama kami dan kami pun akan membiarkannya dengan agamanya.”

Kemudian Abu Thalib mengutus seseorang untuk memangggil Rasulullah saw.. Baginda saw. datang untuk menghadap pamannya. Abu Thalib berkata, “Wahai keponakannku, mereka ssemua adalah pemuka-pemuka dari kalanganmu, telah siap mengadakan perjanjian denganmu.”

Rasulullah saw. bersabda, “Baiklah, hanya sebuah kalimat yang aku mau kalian mengatakannya. Seluruh bangsa Arab dan orang-orang Ajam akan tunduk kepada kalian disebabkan oleh kalimat itu.”

Abu Jahal berkata, “Baiklah, demi bapakmu, bahkan walau sepuluh kalimat pun.”

Rasulullah saw. bersabda, “Katakanlah olehmu Laa Ilaaha Illallaah dan tinggalkan semua sesembahan selain Dia.”

Mereka pun bertepuk tangan sambil berkata, “Wahai Muhammad, apakah engkau akan menjadikan tuhan-tuhan yang banyak itu menjadi satu tuhan saja? Sesungguhnya ini adalah sesuatu yang aneh.”

Kemudian mereka berkata di antara sesama mereka, “Demi Allah, sesungguhnya ia tidak akan memberi kalian sedikit pun dari yang kalian inginkan (perjanjian atau kompromi), oleh sebab itu tinggalkanlah ia dan tetaplah dengan agama nenek moyang kalian sehingga Tuhan memutuskan di antara kalian dengannya.”

Kemudian mereka pun berpisah.

Perawi mengatakan bahwa Abu Thalib berkata, “Demi Allah, keponakanku, kulihat engkau meminta sesuatu kepada mereka yang melampaui batas.”

Rasulullah saw. merasa optimis pamannya dapat mengucapkan kalimat syahadat. Itulah yang menyebabkan Rasulullah saw. bersabda, “Wahai paman, Jika paman mengucapkannya, maka aku akan memohonkan untuk paman syafaat pada hari kiamat.”

Melihat semangat keponakannya, Abu Thalib berkata, “Wahai keponakanku, demi Allah, jika bukan karena takut cacian (kaum Quraisy) kepadamu dan keluarga ayahmu sepeninggalku, dan anggapan kaum Quraisy bahwa aku mengucapkan kalimat itu karena takut mati, pasti aku telah mengucapkannya. Tidaklah aku mengucapkannya melaikan untuk menggembirakanmu dengannya.”

Kemudian Ibnu Abbas menyebutkan hadits itu selengkapnya, dan di dalam sanadnya ada seorang perawi yang masih samar, tidak diketahui keadaannya.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnul Musayyab dari ayahnya, bahwa ketika Abu Thalib sedang sakaratul maut, Nabi saw. masuk dan menemuinya. Abu Jahal berada di samping Abu Thalib ketika itu. Nabi saw. bersabda, “Wahai paman, ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah dan aku akan membela paman dengannya di hadapan Allah nanti.”

Abu Jahal dab Abdullah bin Umayyah berkata, “Hai Abu Thalib, apakah engkau akan meninggalkan agama Abdul Muththalib?”

Mereka berdua terus mendesak Abu Thalib dengan kata-kata itu hingga kata-kata terakhir Abu Thalib adalah: “Aku tetap pada Agama Abdul Muththalib. Rasulullah saw. bersabda, “Saya akan memohon ampunan untukmu selama saya tidak dilarang melakukan hal itu.”

Peristiwa itulah yang menyebabkan Allah swt. Menurunkan wahyu:

مَاكَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْآ اَنْ يَّسْتَغْفِرُوْالِلْمُشْرِكِيْنَ وَلَوْكَانُوْا اُولِى قُرْبٰى مِنْ ۢبَعْدِ مَاتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُمْ اَصْحَابُ الْجَحِيْمِ

Tiadalah sepatutunya bagi nabi dan orang-orang yang beriman meminta ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam.” (Qs. At Taubah: 113)

Juga diwahyukan ayat sebagai berikut:
اِنَّكَ لَاتَهْدِيْ مَنْ اَحْبَبْتَ...
“Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang engkau kasihi…” (Qs. Al Qashash: 56)

Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dengan sanad lain dari bapak Ibnul Musayyab hampir sama seperti itu, dan Ibnu Abbas berkata di dalamnya: Maka Rasulullah saw. terus mendakwahi pamannya dan mereka berdua (Abu Jahal dan Abdullah) terus mendesak Abu Thalib sehingga pada akhir hayatnya Abu Thalib menyatakan, “Aku tetap memeluk agama Abdul Muththalib.” Dan tidak mau mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah. Rasulullah saw. bersabda, “Aku akan minta ampunan untukmu selama aku tidak dilarang melakukan hal itu.” Maka Allah swt. Menurunkan kedua ayat di atas.

Demikian juga yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim, Nasa’I dan Tirmidzi dari Abu Hurairah r.a., katanya: Ketika Abu Thalib sedang sakaratul maut, Rasulullah saw. bersabda, “Wahai paman, ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah  dan aku akan bersaksi untukmu pada hari kiamat.”

Kata Abu Thalib, “Seandainya kaum Quraisy tidak mengejekku dengan berkata, Abu Thalib mengucapkan kalimat itu karena takut mati, maka pasti aku akan menyenangkan hatimu.” Karena itu Allah swt. Menurunkan surat al Qashash ayat 56 yang artinya “Sungguh, engkau(Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia Kehendaki, dan Dia lebih Mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (Al Bidayah [3/124])

Dikutip dari Kitab Hayatush Shahabah Terjemahan Jilid 1 hal. 38-40, Penerbit Pustaka Ramadhan

Selasa, 03 September 2013

Memuliakan Anak Yatim dan Menunjukkan kasih Sayang Kepada Mereka


 بسم الله الرحمن الرحيم

Dikeluarkan Oleh Ahmad dari Abu Hurairah r.a. bahwa seorang lelaki mengadu kepada Rasulullah saw. mengenai hatinya yang keras (susah menangis, dsb.). Rasulullah saw. bersabda kepadanya, hendaknya kamu mengusap kepala anak yatim dan memberi makan orang miskin.”

Dalam riwayat Ath Thabrani dari Abu Darda r.a., katanya: Seorang lelaki datang menemui Rasulullah saw. untuk mengadukan keadaan hatinya yang keras, maka Rasulullah saw. bersabda kepadanya, “Apakah kamu suka melembutkan hatimu dan memperoleh keinginanmu? Hendaknya kamu mengasihi anak yatim, mengusap kepalanya dan memberikan makan dari makanan yang kamu makan. Dengan begitu hatimu akan lembut dan keperluanmu dan dipenuhi.”

Dikeluarkan oleh al Bazar dari Basyir bin ‘Aqrabah al Juhaini r.huma., katanya: Aku menemui Rasulullah saw. pada hari uhud, aku pun berkata kepadanya, “Apaka yang sedang dilakukan oleh ayahku?”

Rasulullah saw. menjawab, “Ia telah gugur syahid. Allah merahmatinya.”

Maka aku pun menangis. Rasulullah saw. memegang kepalaku, mengusap-usap rambutku dan mengangkatku ke atas untanya. Rasulullah saw. pun bertanya kepadaku, “Apakah kamu ridha sekiranya aku menjadi ayahmu dan Aisyah sebagai ibumu?”

Dikeluarkan oleh al Bukhari dalam kitab Tarikhnya dari Basyir bin ‘Aqrabah r.huma. sebagaimana dalam al ishabah. Ibnu Mundah dan Ibnu Asakir lebih panjang dari Hadits di atas, sebagaiman dalam al Muntakhab.

Dikutip dari Kitab Hayatush Shahabah Terjemahan Jilid 2 hal. 543, Penerbit Pustaka Ramadhan

Senin, 02 September 2013

Memelihara Rahasia Orang Islam


 بسم الله الرحمن الرحيم

Dikeluarkan Oleh Abu Nu’aim dalam al Hilyah dari Umar r.a. katanya: Anak perempuanku, Hafshah telah menjadi janda karena kematian suaminya yang bernama Khunais bin Huzafah ash Shahmi r.a. yang merupakan salah seorang sahabat Rasulullah saw. yang turut menyertai perang Badar. Ia wafat di Madinah. Oleh karena itu aku menemui Abu Bakar r.a. dan berkata kepadanya, “Jika engkau mau, aku akan menikahkan engkau dengan Hafshah binti Umar.”

Namun Abu Bakar r.a. tidak memberikan jawaban kepadaku. Aku pun menunggu jawaban itu beberapa hari hingga Rasulullah saw. meminang Hafshah untuk dirinya. Maka aku pun menikahkan Hafshah dengan Rasulullah saw.

Kemudian Abu Bakar r.a. menemuiku dan berkata, “Ketika engkau menawarkan untuk menikahkan Hafshah denganku, maka aku tidak memberikan jawaban kepadamu, karena tawaran itu sangat menyusahkan hatiku.”

Aku bertanya, “Benar seprti kata-katamu.”

Maka Abu Bakar r.a. berkata, “Sesungguhnya tidak ada yang menghalangi untuk memberi jawaban atas tawaranmu, kecuali aku telah mendengar bahwa Rasulullah saw. telah berkata-kata mengenai Hafshah, dan aku tidak mau menyebarkan rahasia beliau. Sekiranya Rasulullah saw. tidak menikahi Hafshah maka aku akan menikahinya.”

Dikeluarkan oleh Ahmad, Ibnu Sa’ad, al Bukhari, an Nasa’I, al Baihaqi, Abu Ya’la dan Ibnu Hibban dengan tambahan, sebagaimana dalam al Muntakhab.

Dikeluarkan oleh al Bukhari dalam al Adab dari Anas r.a., katanya: Pada suatu hari, aku berkhidmat kepada Rasulullah saw.. setelah aku merasa telah selesai berkhidmat kepadanya, aku berkata pada diriku, “Nampaknya Rasulullah saw. seddang tidur.” Lalu aku pun keluar dari rumahnya, Nampak sekumpulan anak-anak sedang bermain-main. Aku pun berdiri untuk melihat anak-anak itu.

Kemudian Rasulullah saw. datang menemui anak-anak itu, lalu memberi salam kepada mereka. Rasulullah saw. memanggilku dan menyuruh melaksanakan satu keperluannya seolah-olah rahasia. Tugasku itu membuat aku lupa kembali ke rumah untuk menemui ibuku.

Setelah aku pulang, ibuku bertanya, “Mengapa kamu terlambat pulang.”

Aku menjawab, “Rasulullah saw. menugaskan aku untuk menyempurnakan suatu keperluan.”

Ibuku bertanya, “Keperluan apa itu?”

Aku berkata, “Ini rahasia Nabi.”

Maka ibuku berkata, “Sekiranya itu rahasia Rasulullah saw. hendaknya kamu menjaganya.”

Karena itu aku pun tidak pernah membocorkan atau menceritakan mengenai hal itu kepada siapa pun. Kalau saja ini bukan rahasia, pasti aku akan menceritakannya kepada ibuku.

Dikeluarkan oleh al Bukhari juga dalam kitab shahihnya dan Muslim dari Anas r.a. serupa hadits di atas dengan ringkas, sebagaimana dalam jam’ul Fawaid.

Dikutip dari Kitab Hayatush Shahabah Terjemahan Jilid 2 hal. 541-542, Penerbit Pustaka Ramadhan

Minggu, 01 September 2013

Ucapan Umar, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas r.hum. Tentang Menjaga Dari Mengikuti Pemikiran Tanpa Dasar


 بسم الله الرحمن الرحيم

Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Ilmu (2/134) mengeluarkan hadits dari Ibnu Shihab r.a., bahwa sesungguhnya Umar bin Khaththab r.a. berkata dan ia berada di atas mimbar, “Hai sekalian Manusia! Sesungguhnya pemikiran itu hanya dari Rasulullah saw. karena sesungguhnya Allah-lah yang memberikan pemikiran itu kepadanya, adapun pemikiran yang dari kami itu adalah prasangka dan bersusah payah dalam berprasangka.”

Menurutnya lagi (2/135) dari Sgadaqah bin Abi Abdillah dahwa Umar bin Khaththab r.a. berkata, “Sesungguhnya orang yang mempunyai pemikiran sendiri adalah musuh-musuh sunnah. Yang melemahkan mereka dalam menjaga sunnah dan melepaskan pemeliharaan dari mereka dan merasa malu jika mengatakan ‘kami tidak tahu’ ketika ditanya, maka mereka berpaling dari sunnah kepada pemikiran mereka sendiri. Takutlah kalian dan takutlah kepada mereka.”

Dan menurutnya juga (2/136) dari Umar r.a., ia berkata, “Sunnah adalah perkara yang telah disunnahkan Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian menjadikan kesalahan pemikiran sebagai sunnah untuk umat.”
Ibnu Abi Hatim dan Baihaqi mengeluarkan hadits yang pertama dari Umar seperti yang tadi. Al Kanz (5/241)

Dan ia menambahkan: “Dan sesungguhnya dugaan itu tidak berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran.” (Qs. An Najm: 28)

Ibnu Mundzir mengeluarkan dari Amr bin Dinar bahwa sesungguhnya seseorang bertanya kepada Umar, “Hukumilah dengan pemikiran yang telah Allah berikan kepadamu.”

“Cukup!” jawab Umar. “Karena sesungguhnya ini adalah khusus untuk Nabi saw.

Thabrani mengeluarkan Hadits dari Sya’bi r.a., ia berkata: Ibnu Mas’ud r.a. berkata, “Takutlah kalian dengan pemikiran sendiri. Karena hancurnya orang sebelum kalian adalah dengan pemikirannya sendiri. Janganlah kalian mengkiaskan sesuatu dengan sesuatu yang lain, maka telapak kakimu akan tergelincir setelah tetapnya. Dan apabila  salah satu dari kalian ditanya tentang sesuatu yang tidak ddiketahui hendaknya katakan, ‘Allahu A’lam!’ Karena Sesungguhnya itu adalah sepertiganya ilmu.”

Al Haitsami (1/180) berkata bahwa Sya’bi tidak pernah mendengar langsung dari Ibnu Mas’ud r.a. dan di dalamnya terdapat Jabir al Ju’fi dan ia adalah dha’if.

Thabrani mengeluarkan Hadits dalam al Kabir dari Ibnu Mas’ud r.a., ia berkata, “Tidaklah suatu tahun kecuali sesudahnya lebih buruk dari tahun sebelumnya dan tidak lebih baik dari tahun sebelumnya dan tidak ada umat yang lebih baik dari umat sebelumnya, selain kematian Ulama dan orang-orang pilihan di antara kalian, sehingga suatu kaum akan mengkiaskan suatu perkara dengan pemikiran mereka sehingga hancur dan terpecahlah Islam.”

Al Haitsami (1/180) berkata bahwa di dalamnya terdapat Mujahid bin Sa’id dan ia telah ikut berbaur.
Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Ilmi (2/136) mengeluarkan hadits dari Ibnu Abbas r.a. behwa ia berkata, “Pastikan itu adalah Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Barangsiapa yang berkata setelah itu dengan pendapatnya sendiri, maka aku tidak tahu apakah ia dalam kebaikan atau dalam keburukan.”
Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Ilmi (2/33) mengeluarkan hadits dari Atha’ dari Ayahnya, ia berkata, “Sebagian sahabat Nabi ditanya tentang sesuatu maka ia menjawab, “Sesungguhnya aku malu kepada Rabbku untuk mengatakan tentang masalah umat Muhammad saw. dengan pendapatku sendiri.”
Dikutip dari Kitab Hayatush Shahabah Terjemahan Jilid 3 hal. 340-341, Penerbit Pustaka Ramadhan

Senin, 26 Agustus 2013

Kisah Abu Hurairah r.a. Bersama Ahli Pasar


 بسم الله الرحمن الرحيم
Imam Thabrani mengeluarkan dalam kitab Ausath dengan sanad yang hasan dari Abu Hurairah r.a. bahwa sesungguhnya dia berjalan-jalan di pasar Madinah dan berdiam sebentar di sana, lalu  berkata, “Wahai ahli pasar! Apa yang mencegah kamu dari mencari kebaikan?”

Mereka menjawab, “Apa itu wahai Abu Hurairah?”

Abu Hurairah r.a. berkata, “Itu, warisan Rasulullah saw. sedang dibagi-bagikan sedangkan kalian masih di sini! Apakah kalian tidak pergi untuk mengambil bagian kalian?”

Mereka bertanya, “Di mana?”

Abu Hurairah r.a. berkata, “Di dalam masjid.”

Kemudian mereka bergegas ke masjid dan Abu Hurairah r.a. berdiam di tempat itu menunggu mereka kembali. Lalu Abu Hurairah r.a. berkata kepadanya, “Apa yang kalian dapatkan?”

Mereka menjawab, “Wahai Abu Hurairah! Sungguh kami telah datang ke masjid lalu kami masuk ke dalamnya dan kami tidak melihat sesuatu yang dibagi.”

Abu Hurairah r.a. berkata, “Apa yang kalian lihat di masjid?”

Mereka menjawab, “Ya, kami melihat ada suatu kaum yang shalat dan satu kaum yang membaca al –Qur’an dan satu kaum membahas tentang halal dan haram.”

Lalu Abu Hurairah r.a. berkata, “Celakalah kalian! Itulah warisan Muhammad Rasulullah saw.

Dikutip dari Kitab Hayatush Shahabah Terjemahan Jilid 3 hal. 151, Penerbit Pustaka Ramadhan

Kamis, 22 Agustus 2013

Perintah Rasulullah saw. Supaya Mendahulukan Berkhidmat Kepada Kedua Orang Tua Daripada Jihad


بسم الله الرحمن الرحيم

Dikeluarkan oleh al Bukhari, Muslim, at Tirmidzi, Ibnu Majah dan Abu Dawud dari Abdullah bin Amr bin al ash r.a., katanya: Seorang lelaki datang menemui Rasulullah saw. dan meminta izinnya untuk pergi berjihad. Rasulullah saw. bertanya apakah ayah dan ibunya masih hidup atau sudah meninggal dunia. Lelaki itu menjawab bahwa keduanya masih hidup. Maka Rasulullah saw. bersabda kepadanya supaya berkhidmat kepada keduanya karena itu pun merupakan jihad.

Dalam riwayat Muslim, katanya: Seorang pemuda datang menemui Rasulullah saw. dan berkata kepadanya, “Aku membaiatmu atas hijrah dan hijrah untuk memperoleh ganjaran dari Allah.”

Rasulullah saw. bertanya kepada lelaki itu, “Apakah salah seorang dari ayah dan ibumu masih hidup?”

Pemuda itu menjawab, “Bahkan keduanya masih hidup.”

Karena jawaban pemuda itu, Rasulullah saw. bersabda, “Apakah kamu mau mencari ganjaran dari Allah?”

“Ya.” Jawab pemuda itu.

Rasulullah saw. bersabda, “Hendaknya kamu kembali kepada ayah dan ibumu dan bergaullah dengan baik dengan mereka (dengan berkhidmat kepadanya).”

Dalam riwayat Abu Dawud pula, pemuda itu berkata kepada Rasulullah saw., “Saya datang untuk berbaiat kepada engkau atas hijrah dan saya telah meninggalkan kedua orang tua saya, sedangkan kedunya menangis.”

Rasulullah saw.  bersabda “Pulanglah kamu kepada kedua orang tuamu dan buatlah mereka tertawa sebagaimana kamu telah membuatnya menangis.”
Dalam riwayat Abu Dawud juga dari hadits Abu Sa’id r.a. bahwa seorang lelaki dari penduduk Yaman telah hijrah kepada Rasulullah saw. dan baginda bertanya kepadanya, “Apakah kamu mempunyai seseorang di Yaman (yang kamu tinggalkan)?”

Lelaki itu menjawab, “kedua orang tuaku.”

Rasulullah saw. bertanya lagi, “Apakah keduanya telah mengizinkanmu untuk berhijrah?”
“Tidak.” Jawab lelaki itu.

Rasulullah saw. bersabda, “Jika demikian, kembalilah kamu kepada kedua orang tuamu dan mintalah izin dari mereka, sekiranya mereka mengizinkan kamu, maka pergilah untuk berjihad. Jika tidak, tinggallah bersama mereka dan berkhiddmat untuk mereka.”

Dalam riwayat Abu Ya’la dan ath Thabrani dengan isnad yang jayyid dari anas r.a., katanya: Seorang lelaki datang menemui Rasulullah saw. dan berkata kepada beliau, “Saya sangat bersemangat untuk berjihad tetapi saya tidak mampu melakukannya.”

Rasulullah saw. bertanya, “Apakah salah seorang dari ayah dan ibumu masih hidup?”
Lelaki itu menjawab, “Ibuku masih hidup.”

Rasulullah saw. bersabda, “Berkhidmatlah untuk ibumu semata-mata karena Allah. Jika kamu melakukannya, maka kamu memperoleh ganjaran mengerjakan haji, umroh dan jihad.” (at Targhib)

Dikutip dari Kitab Hayatush Shahabah Terjemahan Jilid 3 hal. 513 - 514, Penerbit Pustaka Ramadhan

Kamis, 01 Agustus 2013

Anjuran Salman r.a. dan Abu Darda’ r.a. untuk Dzikir


 بسم الله الرحمن الرحيم
Abu Nu’aim dalam al Hilyah mengeluarkan hadits dari Salman r.a. katanya: Aku berkata, “Andaikan ada seorang leki-laki yang menyedekahkan budak belian yang mulus kulitnya dan laki-laki yang lain membaca kitabullah dan berdzikir kepada ALLAH swt.

Sulaiman berkata, “Sepertinya Salman r.a. berpendapat laki-laki yang berdzikir itulah yang lebih utama.”

Ahmad mengeluarkan hadits dari Habib bin Ubaid bahwa ada seorang laki-laki yang datang kepada Abu Darda’ r.a., laki-laki tadi berkata, “Nasehatilah saya.”

Abu Darda’ r.a. menjawab, “Ingatlah kamu kepada ALLAH ketika senang maka ALLAH akan mengingatmu ketika susah. Jika kamu menengok isi dunia maka tengoklah asal kejadiannya.”

Sebagaimana dalam Sifatish Shafwah (1/258).

Abu Nu’aim dalam al Hilyah mengeluarkan hadits dari Abu Darda’ r.a. katanya: Aku berkata, “Maukah kalian aku kabarkan amalan yang paling baik, yang paling disukai ALLAH dan yang mininggikan derajat kalian dan yang lebih baik dari memerangi musuh kalian, mereka membunuhmu atau kamu membunuh musuhmu dan yang lebih baik daripada menyedekahkan beberapa dirham dan dinar?”

Mereka bertanya, “Apakah itu hai Abu Darda’?”

Aku menjawab, “Yaitu Dzikrullah, dan sesungguhnya mengingat ALLAH itu besar.”

Abu Nu’aim dalam al Hilyah mengeluarkan hadits dari Abu Darda’ r.a. ia berkata bahwa orang-orang yang membasahi lisannya dengan dzikrullah akan memasuki Jannah dengan tersenyum-senyum.
Dikutip dari Kitab Hayatush Shahabah Terjemahan Jilid 3 hal. 369, Penerbit Pustaka Ramadhan