Pages

Selasa, 10 September 2013

Dakwah Nabi saw. kepada Abu Bakar r.a.


بسم الله الرحمن الرحيم

Diriwayatkan oleh al Hafizh Abu al Hasan ath Athrabullisi dari Aisyah r.ha., katanya: Abu Bakar r.a. keluar menemui Rasulullah saw. dan mereka berdua adalah sahabat akrab sejak zaman jahiliyah. Abu Bakar menemui Baginda saw. dan berkata kepadanya, “Wahai Abu Qosim, engkau tidak terlihat dalam majelis kaummu dan mereka menuduh bahwa engkau telah mencela nenek moyang mereka.”

Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya aku adalah utusan Allah dan menyeru kamu kepada Allah. ”

Ketika Rasulullah saw. selesai berbicara, Abu Bakar pun memeluk Islam. Kemudian Rasulullah saw. meninggalkannya. Tiada seorang pun yang terletak di antara dua gunung di Makkah (maksudnya penduduk Makkah) yang lebih bergembira daripada Rasulullah saw. dengan ke-Islaman Abu Bakar. Kemudian Abu Bakar berjalan menemui Usman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin al Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash dan mereka semua memeluk Islam. Keesokan harinya Abu Bakar datang menemui Utsman bin Mazh’un, Abu Ubaidah bin al Jarrah, Abdur Rahman bin Auf, Abu Salamah bin Abdul Asad, dan al Arqam bin Abu al Arqam, sehingga mereka semua memeluk agama Islam. Kisah ini tertulis dalam kitab al Bidaayah (3/29).

Disebutkan oleh Ibnu Ishaq bahwa Abu Bakar ash Shiddiq r.a. menemui Rasulullah saw. dan berkata kepada beliau: “Apakah benar yang dikatakan oleh kaum Quraisy, wahai Muhammad, bahwa engkau telah meninggalkan tuhan-tuhan kami, menganggap bodoh akal kami, dan mengkafirkan nenek moyang kami?”

Rasulullah saw. bersabda, “Ya, benar. Sesungguhnya aku adalah utusan Allah dan nabi-Nya. Allah telah mengutusku untuk menyampaikan risalah-Nya dan aku menyeru kamu kepada Allah dengan haq. Maka demi Allah, sesungguhnya Dia adalah haq. Wahai Abu Bakar, aku menyeru kamu kepada Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, janganlah kamu menyembah selain-Nya, dan selalulah menaati-Nya.”

Kemudian Rasulullah saw. membacakan kepadanya ayat-ayat al Qur’an. Abu Bakar tidak mengiyakan atau pun menolaknya. Tak lama kemudian ia pun memeluk Islam dan mengingkari berhala-berhala,  meninggalkan sekutu-sekutu Tuhan, dan mengakui hak-hak agam Islam. Abu Bakar r.a. pulang dalam  keadaan membenarkan apa yang disabdakan oleh Rasulullah saw..

Ibnu Ishaq berkata: telah bercerita kepadaku Muhammad bin Abdur Rahman bi Abdullah bin al Hushaini at Tamimi, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah aku menyeru seorang pun kepada Islam melainkan ia akan berhenti sebentar, ragu-ragu, dan berfikir lebih dulu, kecuali Abu Bakar. Ia tidak berdiam diri terlalu lama dan tidak juga ragu-ragu.”

Riwayat di atas dinukulkan oleh Abu Ishaq berkenaan dengan kata-katanya: “Abu Bakar tidak mengiyakan dan tidak juga mengingkarinya.” Ini adalah riwayat yang tidak benar.

Karena Ibnu Ishaq dan yang lainnya menyatakan bahwa Abu Bakar r.a. adalah sahabat Rasulullah saw. pada zaman jahiliyah sebelum Muhammad dilantik menjadi Rasul Allah. Ia sangat mengetahui perangai Rasulullah saw., baik tentang kejujurannya, sifat amanahnya, ketinggian pribadi dan kemuliaan akhlaknya yang kesemuanya menghalangi beliau dari berdusta kepada sesama manusia, maka bagaimana mungkin Rasulullah saw. berdusta kepada Allah swt.? Oleh karena itu hanya dengan kata-kata Rasulullah saw. yang singkat itu, Abu Bakar segera membenarkan apa yang dikatakan oleh Rasulullah saw. tanpa ragu-ragu dan berfikir  lebih dulu.

Disebutkan dalam hadits shahih Imam Bukhari, dari Abu Darda’ r.a. di dalam sebuah hadits yang menceritakan tentang pertikaian antara Abu Bakar dan Umar r.a. Di dalamnya disebutkan: Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengutusku kepada kalian, lalu kalian berkata kepadaku, ‘Engkau telah berdusta (wahai Muhammad), dan Abu Bakar berkata, ‘Engkau benar.’ Dan membantuku dengan harta dan dirinya (dalam melaksanakan dakwah). Apakah kalian akan meninggalkan sahabatku ini?”

Rasulullah saw. mengulangi pertanyaan ini dua kali. Tiada yang menyakiti Abu Bakar r.a. setelah itu. Ini adalah nash yang menunjukkan bahwa ia berasal dari kalangan orang yang awal memeluk Islam. Demikian tercantum dalam kitab al Bidaayah (juz 3, hal. 26-27)

Dikutip dari Kitab Hayatush Shahabah Terjemahan Jilid 1 hal. 53-55, Penerbit Pustaka Ramadhan

Senin, 09 September 2013

Rasulullah saw. Mendamaikan Perselisihan Di Antara Penduduk Quba dan Perselisihan Dua Orang Ketika Mengunjungi Abdullah bin Ubai


 بسم الله الرحمن الرحيم

Dikeluarkan oleh al Bukhari dari Sahl bin Sa’ad, katanya: Terjadi Pertengkaran di antara penduduk Quba hingga mereka saling melempar batu. Kemudian Rasulullah saw. diberi tahu mengenai kejadian itu. Maka beliau bersabda, “Mari kita pergi mendamaikan mereka.”

Dalam riwayat al Bukhari juga dari haditsnya bahwa sejumlah orang dari Bani Amru bin Auf berselisih, lalu Nabi saw. keluar menemui mereka dengan para sahabatnya untuk mendamaikan mereka.

Dikeluarkan oleh al Bukhari dari Anas r.a., katanya: Seseorang berkata kepada Nabi saw., “Lebih baik kita pergi menemui Abdullah bin Ubai.”

Lalu Rasulullah saw. pun pergi menemuinya dengan menunggang himarnya. Turut menyertainya beberapa kaum muslimin. Kawasan yang dilalui mereka adalah kawasan berbukit yang hanya ditumbuhi sedikit pohon.

Ketika Rasulullah saw. sampai, Abdullah berkata, “Pergilah kamu dariku. Bau busuk himarmu menggangggu hidungku.”

Seorang lelaki dari kalangan Anshar berkata, “Demi Allah bau humar Rasulullah saw. adalah lebih baik darimu!”

Seorang lelaki dari pihak Abdullah bin Ubai menjadi marah, lalu keduanya saling memaki satu sama lain. Rekan-rekan dari kedua belah pihak (pihak sahabat Anshar dan pihak Abdullah bin Ubai) ikut campur dalam pertengkaran itu hingga mereka gaduh sampai saling melempar degan pelepah kurma, sepatu dan saling mendorong.

Kami diberi tahu bahwa ayat berikut telah diwahyukan:

وَاِنْ طَآئِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَاَصْلِحُوْابَيْنَهُمَاۚ

Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya…” (Qs. Al Hujuurat: 9)

Telah berlalu riwayat mengenai menjenguk orang sakit dalam hadits Usama r.a. dan telah dikeluarkan oleh al Bukhari, “Kaum musyrikin dan Yahudi saling mencaci hingga Rasulullah saw. mendamaikan mereka yang hampir berperang.”

Dikutip dari Kitab Hayatush Shahabah Terjemahan Jilid 2 hal. 571-572, Penerbit Pustaka Ramadhan

Minggu, 08 September 2013

KIsah Wahsyi bin Harb Memeluk Islam


 بسم الله الرحمن الرحيم

Diriwayatkan oleh Thabrani, dari Ibnu Abbas r.a., katanya: Rasulullah saw. mengirim seorang utusan kepada Wahsyi bin Harb – Pembunuh Hamzah r.a. – agar ia memeluk Islam. Maka Wahsyi balik mengutus seseorang dengan kata-kata, “Wahai Muhammad! Bagaiman Engkau menyeru aku (untuk memeluk Islam) sedangkan engkau mengatakan bahwa barangsiapa membunuh atau mempersekutukan Allah dengan sesuatu atau meakukan zina, maka ia berdosa dan siksa untuknya akan digandakan pada hari Kiamat nanti dan kekal di dalam neraka dalam kehinaan, sedangkan aku telah melakukan perbuatan-perbuatan itu? Apakah engkau menjumpai satu keringanan bagiku?

Inilah tang menyebabkan Allah swt. Menurunkan wahyu:

اِلَّامَنْ تَابَ وَاٰمَنَ وَعَمِلَ عَمَلً صَالِحًا فَاُولٰٓئِكَ يُبَدِّلُ اللهُ سَيِّاٰتِهِمْ حَسَنَاتٍۗ وَكَانَ اللهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

Kecuali orang-orang yang bertaubat dan beriman dan mengerjakan kebajikan; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. Al Furqan: 70)

Wahsyi berkata, “Wahai Muhammad, syarat ini sangat berat bagiku, yaitu aku harus bertaubat dan beriman serta melakukan amal shalih. Aku tidak sanggup melakukan hal-hal seperti itu.”

Peristiwa ini menyebabkan Allah swt. Menurunkan wahyu:

اِنَّ اللهَ لَايَغْفِرُاَنْ يُشْرِكَ بِهٰ وَيَغْفِرُمَادُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاءُۚ

SesungguhnyaAllah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengetahui segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (Qs. An Nisaa: 48)

Wahsyi berkata lagi, “Wahai Rasulullah, aku melihat ampunan itu tergantung kepada kehendak Allah. Aku tidak mengetahui apakah Allah mengampuni atau tidak. Adakah yang lain?”

Maka Allah mewahyukan ayat di bawah ini kepada Rasulullah saw.:

قُلْ يٰعِبَادِيَ الَّذِنَ اَسْرَفُوْاعَلٰٓ اَنْفُسِهِمْ لَاتَقْنَطُوْامِنْ رَّحْمَتِ اللهِۗ اِنَّ اللهَ يَغْفِرُالذُّنُوْبَ جَمِيْعًاۗ اِنَّهُ هُوَالْغَفُوْرُالرَّحِيْمُ

Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dia-lah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Az Zumar: 53)

Wahsyi berkata lagi, “Wahai Muhammad, syarat ini mudah bagiku.”

Maka ia pun memeluk Islam. Para sahabat yang berada di sekitar itu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami telah melakukan perbuatan yang dilakukan oleh Wahsyi.”

Rasulullah saw. bersabda, “Ayat itu ditujukan kepada seluruh orang Islam.”

Al Haitsami (juz 7, hal.100) berkata bahwa dalam sanadnya ada Abyan bin Sufyan. Adz Dzahabi menganggapnya lemah.

Diriwayatkan oleh Bukhari (2/710) dari Ibnu Abbas r.a., katanya: Sesungguhnya orang-orang yang berasal dari kaum musyrik, dulu mereka telah membunuh dan banyak melakukannya, begitu juga mereka telah berzinadan banyak melakukannya, kemudian mereka menemui Rasulullah saw. dan berkata, “Sesungguhnya segala yang telah engkau katakan dan engkau dakwahkan adalah ajaran yang sangat bagus, kalau saja engkau memberi tahu kami bahwa ada penebus untuk segala (dosa) yang kami lakukan selama ini.”
Maka Allah swt. Telah menurunkan ayat sebagai berikut:

وَالَّذِيْنَ لَايَدْعُوْنَ مَعَ اللهِ اِلٰهًا اٰخَرَوَلَايَقْتُلُوْنَ النَّفْسَ الَّتِىْ حَرَّمَ اللهُ اِلَّابِالْحَقِّ وَلَايَزْنُوْنَۚ

Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain dan tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar dan tidak berzina.” (Qs. Al Furqan: 68)

Kemudian ayat yang lain turun:

قُلْ يٰعِبَادِيَ الَّذِنَ اَسْرَفُوْاعَلٰٓ اَنْفُسِهِمْ لَاتَقْنَطُوْامِنْ رَّحْمَتِ اللهِۗ

Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah….” (Qs. Az Zumar: 53)

Muslim juga meriwayatkannya (juz 1 hal. 76), juga Abu Dawud (juz 2 hal. 238), dan an Nasa’I, seperti yang ada dalam al Aini (juz 9 hal. 121). Al Baihaqi meriwayatkannya (juz 9 hal.98) semisal itu.
Dikutip dari Kitab Hayatush Shahabah Terjemahan Jilid 1 hal. 48-50, Penerbit Pustaka Ramadhan

Jumat, 06 September 2013

Dakwah Rasulullah saw. Kepada Abu Thalib Sebelum Meninggal Dunia


بسم الله الرحمن الرحيم

Menurut Ishaq, dari Ibnu Abbas r.a. –seperti tersebut dalam al Bidayah (3/123) – dia berkata: Ketika pemuka-pemuka kaum Quraisy berjalan menuju rumah Abu Thalib untuk berbicara kepadanya, mereka terdiri dari ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Abu Jahal bin Hisyam, Umayyah bin Khalaf, dan Abu Sufyan bin Harb yang merupakan orang-orang terhormat dari kalangan kaum Quraisy. Mereka berkata, “Wahai Abu Thalib, sesungguhnya engkau mengetahui kedudukanmu di sisi kami. Maut hampir menjemputmu pulang. Kami sangat mengkhawatirkan kehormatanmu di kalangan kami. Engkau mengetahui apa yang sedang terjadi antara kami dengan keponakanmu (berkaitan dengan gakwah Rasulullah saw.). Panggillah ia dan ambillah janji darinya agar ia mau mencegah dirinya dari mencela kami dan kami pun akan berhenti mengganggunya supaya ia membiarkan kami dengan agama kami dan kami pun akan membiarkannya dengan agamanya.”

Kemudian Abu Thalib mengutus seseorang untuk memangggil Rasulullah saw.. Baginda saw. datang untuk menghadap pamannya. Abu Thalib berkata, “Wahai keponakannku, mereka ssemua adalah pemuka-pemuka dari kalanganmu, telah siap mengadakan perjanjian denganmu.”

Rasulullah saw. bersabda, “Baiklah, hanya sebuah kalimat yang aku mau kalian mengatakannya. Seluruh bangsa Arab dan orang-orang Ajam akan tunduk kepada kalian disebabkan oleh kalimat itu.”

Abu Jahal berkata, “Baiklah, demi bapakmu, bahkan walau sepuluh kalimat pun.”

Rasulullah saw. bersabda, “Katakanlah olehmu Laa Ilaaha Illallaah dan tinggalkan semua sesembahan selain Dia.”

Mereka pun bertepuk tangan sambil berkata, “Wahai Muhammad, apakah engkau akan menjadikan tuhan-tuhan yang banyak itu menjadi satu tuhan saja? Sesungguhnya ini adalah sesuatu yang aneh.”

Kemudian mereka berkata di antara sesama mereka, “Demi Allah, sesungguhnya ia tidak akan memberi kalian sedikit pun dari yang kalian inginkan (perjanjian atau kompromi), oleh sebab itu tinggalkanlah ia dan tetaplah dengan agama nenek moyang kalian sehingga Tuhan memutuskan di antara kalian dengannya.”

Kemudian mereka pun berpisah.

Perawi mengatakan bahwa Abu Thalib berkata, “Demi Allah, keponakanku, kulihat engkau meminta sesuatu kepada mereka yang melampaui batas.”

Rasulullah saw. merasa optimis pamannya dapat mengucapkan kalimat syahadat. Itulah yang menyebabkan Rasulullah saw. bersabda, “Wahai paman, Jika paman mengucapkannya, maka aku akan memohonkan untuk paman syafaat pada hari kiamat.”

Melihat semangat keponakannya, Abu Thalib berkata, “Wahai keponakanku, demi Allah, jika bukan karena takut cacian (kaum Quraisy) kepadamu dan keluarga ayahmu sepeninggalku, dan anggapan kaum Quraisy bahwa aku mengucapkan kalimat itu karena takut mati, pasti aku telah mengucapkannya. Tidaklah aku mengucapkannya melaikan untuk menggembirakanmu dengannya.”

Kemudian Ibnu Abbas menyebutkan hadits itu selengkapnya, dan di dalam sanadnya ada seorang perawi yang masih samar, tidak diketahui keadaannya.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnul Musayyab dari ayahnya, bahwa ketika Abu Thalib sedang sakaratul maut, Nabi saw. masuk dan menemuinya. Abu Jahal berada di samping Abu Thalib ketika itu. Nabi saw. bersabda, “Wahai paman, ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah dan aku akan membela paman dengannya di hadapan Allah nanti.”

Abu Jahal dab Abdullah bin Umayyah berkata, “Hai Abu Thalib, apakah engkau akan meninggalkan agama Abdul Muththalib?”

Mereka berdua terus mendesak Abu Thalib dengan kata-kata itu hingga kata-kata terakhir Abu Thalib adalah: “Aku tetap pada Agama Abdul Muththalib. Rasulullah saw. bersabda, “Saya akan memohon ampunan untukmu selama saya tidak dilarang melakukan hal itu.”

Peristiwa itulah yang menyebabkan Allah swt. Menurunkan wahyu:

مَاكَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْآ اَنْ يَّسْتَغْفِرُوْالِلْمُشْرِكِيْنَ وَلَوْكَانُوْا اُولِى قُرْبٰى مِنْ ۢبَعْدِ مَاتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُمْ اَصْحَابُ الْجَحِيْمِ

Tiadalah sepatutunya bagi nabi dan orang-orang yang beriman meminta ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam.” (Qs. At Taubah: 113)

Juga diwahyukan ayat sebagai berikut:
اِنَّكَ لَاتَهْدِيْ مَنْ اَحْبَبْتَ...
“Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang engkau kasihi…” (Qs. Al Qashash: 56)

Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dengan sanad lain dari bapak Ibnul Musayyab hampir sama seperti itu, dan Ibnu Abbas berkata di dalamnya: Maka Rasulullah saw. terus mendakwahi pamannya dan mereka berdua (Abu Jahal dan Abdullah) terus mendesak Abu Thalib sehingga pada akhir hayatnya Abu Thalib menyatakan, “Aku tetap memeluk agama Abdul Muththalib.” Dan tidak mau mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah. Rasulullah saw. bersabda, “Aku akan minta ampunan untukmu selama aku tidak dilarang melakukan hal itu.” Maka Allah swt. Menurunkan kedua ayat di atas.

Demikian juga yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim, Nasa’I dan Tirmidzi dari Abu Hurairah r.a., katanya: Ketika Abu Thalib sedang sakaratul maut, Rasulullah saw. bersabda, “Wahai paman, ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah  dan aku akan bersaksi untukmu pada hari kiamat.”

Kata Abu Thalib, “Seandainya kaum Quraisy tidak mengejekku dengan berkata, Abu Thalib mengucapkan kalimat itu karena takut mati, maka pasti aku akan menyenangkan hatimu.” Karena itu Allah swt. Menurunkan surat al Qashash ayat 56 yang artinya “Sungguh, engkau(Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia Kehendaki, dan Dia lebih Mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (Al Bidayah [3/124])

Dikutip dari Kitab Hayatush Shahabah Terjemahan Jilid 1 hal. 38-40, Penerbit Pustaka Ramadhan

Selasa, 03 September 2013

Memuliakan Anak Yatim dan Menunjukkan kasih Sayang Kepada Mereka


 بسم الله الرحمن الرحيم

Dikeluarkan Oleh Ahmad dari Abu Hurairah r.a. bahwa seorang lelaki mengadu kepada Rasulullah saw. mengenai hatinya yang keras (susah menangis, dsb.). Rasulullah saw. bersabda kepadanya, hendaknya kamu mengusap kepala anak yatim dan memberi makan orang miskin.”

Dalam riwayat Ath Thabrani dari Abu Darda r.a., katanya: Seorang lelaki datang menemui Rasulullah saw. untuk mengadukan keadaan hatinya yang keras, maka Rasulullah saw. bersabda kepadanya, “Apakah kamu suka melembutkan hatimu dan memperoleh keinginanmu? Hendaknya kamu mengasihi anak yatim, mengusap kepalanya dan memberikan makan dari makanan yang kamu makan. Dengan begitu hatimu akan lembut dan keperluanmu dan dipenuhi.”

Dikeluarkan oleh al Bazar dari Basyir bin ‘Aqrabah al Juhaini r.huma., katanya: Aku menemui Rasulullah saw. pada hari uhud, aku pun berkata kepadanya, “Apaka yang sedang dilakukan oleh ayahku?”

Rasulullah saw. menjawab, “Ia telah gugur syahid. Allah merahmatinya.”

Maka aku pun menangis. Rasulullah saw. memegang kepalaku, mengusap-usap rambutku dan mengangkatku ke atas untanya. Rasulullah saw. pun bertanya kepadaku, “Apakah kamu ridha sekiranya aku menjadi ayahmu dan Aisyah sebagai ibumu?”

Dikeluarkan oleh al Bukhari dalam kitab Tarikhnya dari Basyir bin ‘Aqrabah r.huma. sebagaimana dalam al ishabah. Ibnu Mundah dan Ibnu Asakir lebih panjang dari Hadits di atas, sebagaiman dalam al Muntakhab.

Dikutip dari Kitab Hayatush Shahabah Terjemahan Jilid 2 hal. 543, Penerbit Pustaka Ramadhan

Senin, 02 September 2013

Memelihara Rahasia Orang Islam


 بسم الله الرحمن الرحيم

Dikeluarkan Oleh Abu Nu’aim dalam al Hilyah dari Umar r.a. katanya: Anak perempuanku, Hafshah telah menjadi janda karena kematian suaminya yang bernama Khunais bin Huzafah ash Shahmi r.a. yang merupakan salah seorang sahabat Rasulullah saw. yang turut menyertai perang Badar. Ia wafat di Madinah. Oleh karena itu aku menemui Abu Bakar r.a. dan berkata kepadanya, “Jika engkau mau, aku akan menikahkan engkau dengan Hafshah binti Umar.”

Namun Abu Bakar r.a. tidak memberikan jawaban kepadaku. Aku pun menunggu jawaban itu beberapa hari hingga Rasulullah saw. meminang Hafshah untuk dirinya. Maka aku pun menikahkan Hafshah dengan Rasulullah saw.

Kemudian Abu Bakar r.a. menemuiku dan berkata, “Ketika engkau menawarkan untuk menikahkan Hafshah denganku, maka aku tidak memberikan jawaban kepadamu, karena tawaran itu sangat menyusahkan hatiku.”

Aku bertanya, “Benar seprti kata-katamu.”

Maka Abu Bakar r.a. berkata, “Sesungguhnya tidak ada yang menghalangi untuk memberi jawaban atas tawaranmu, kecuali aku telah mendengar bahwa Rasulullah saw. telah berkata-kata mengenai Hafshah, dan aku tidak mau menyebarkan rahasia beliau. Sekiranya Rasulullah saw. tidak menikahi Hafshah maka aku akan menikahinya.”

Dikeluarkan oleh Ahmad, Ibnu Sa’ad, al Bukhari, an Nasa’I, al Baihaqi, Abu Ya’la dan Ibnu Hibban dengan tambahan, sebagaimana dalam al Muntakhab.

Dikeluarkan oleh al Bukhari dalam al Adab dari Anas r.a., katanya: Pada suatu hari, aku berkhidmat kepada Rasulullah saw.. setelah aku merasa telah selesai berkhidmat kepadanya, aku berkata pada diriku, “Nampaknya Rasulullah saw. seddang tidur.” Lalu aku pun keluar dari rumahnya, Nampak sekumpulan anak-anak sedang bermain-main. Aku pun berdiri untuk melihat anak-anak itu.

Kemudian Rasulullah saw. datang menemui anak-anak itu, lalu memberi salam kepada mereka. Rasulullah saw. memanggilku dan menyuruh melaksanakan satu keperluannya seolah-olah rahasia. Tugasku itu membuat aku lupa kembali ke rumah untuk menemui ibuku.

Setelah aku pulang, ibuku bertanya, “Mengapa kamu terlambat pulang.”

Aku menjawab, “Rasulullah saw. menugaskan aku untuk menyempurnakan suatu keperluan.”

Ibuku bertanya, “Keperluan apa itu?”

Aku berkata, “Ini rahasia Nabi.”

Maka ibuku berkata, “Sekiranya itu rahasia Rasulullah saw. hendaknya kamu menjaganya.”

Karena itu aku pun tidak pernah membocorkan atau menceritakan mengenai hal itu kepada siapa pun. Kalau saja ini bukan rahasia, pasti aku akan menceritakannya kepada ibuku.

Dikeluarkan oleh al Bukhari juga dalam kitab shahihnya dan Muslim dari Anas r.a. serupa hadits di atas dengan ringkas, sebagaimana dalam jam’ul Fawaid.

Dikutip dari Kitab Hayatush Shahabah Terjemahan Jilid 2 hal. 541-542, Penerbit Pustaka Ramadhan

Minggu, 01 September 2013

Ucapan Umar, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas r.hum. Tentang Menjaga Dari Mengikuti Pemikiran Tanpa Dasar


 بسم الله الرحمن الرحيم

Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Ilmu (2/134) mengeluarkan hadits dari Ibnu Shihab r.a., bahwa sesungguhnya Umar bin Khaththab r.a. berkata dan ia berada di atas mimbar, “Hai sekalian Manusia! Sesungguhnya pemikiran itu hanya dari Rasulullah saw. karena sesungguhnya Allah-lah yang memberikan pemikiran itu kepadanya, adapun pemikiran yang dari kami itu adalah prasangka dan bersusah payah dalam berprasangka.”

Menurutnya lagi (2/135) dari Sgadaqah bin Abi Abdillah dahwa Umar bin Khaththab r.a. berkata, “Sesungguhnya orang yang mempunyai pemikiran sendiri adalah musuh-musuh sunnah. Yang melemahkan mereka dalam menjaga sunnah dan melepaskan pemeliharaan dari mereka dan merasa malu jika mengatakan ‘kami tidak tahu’ ketika ditanya, maka mereka berpaling dari sunnah kepada pemikiran mereka sendiri. Takutlah kalian dan takutlah kepada mereka.”

Dan menurutnya juga (2/136) dari Umar r.a., ia berkata, “Sunnah adalah perkara yang telah disunnahkan Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian menjadikan kesalahan pemikiran sebagai sunnah untuk umat.”
Ibnu Abi Hatim dan Baihaqi mengeluarkan hadits yang pertama dari Umar seperti yang tadi. Al Kanz (5/241)

Dan ia menambahkan: “Dan sesungguhnya dugaan itu tidak berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran.” (Qs. An Najm: 28)

Ibnu Mundzir mengeluarkan dari Amr bin Dinar bahwa sesungguhnya seseorang bertanya kepada Umar, “Hukumilah dengan pemikiran yang telah Allah berikan kepadamu.”

“Cukup!” jawab Umar. “Karena sesungguhnya ini adalah khusus untuk Nabi saw.

Thabrani mengeluarkan Hadits dari Sya’bi r.a., ia berkata: Ibnu Mas’ud r.a. berkata, “Takutlah kalian dengan pemikiran sendiri. Karena hancurnya orang sebelum kalian adalah dengan pemikirannya sendiri. Janganlah kalian mengkiaskan sesuatu dengan sesuatu yang lain, maka telapak kakimu akan tergelincir setelah tetapnya. Dan apabila  salah satu dari kalian ditanya tentang sesuatu yang tidak ddiketahui hendaknya katakan, ‘Allahu A’lam!’ Karena Sesungguhnya itu adalah sepertiganya ilmu.”

Al Haitsami (1/180) berkata bahwa Sya’bi tidak pernah mendengar langsung dari Ibnu Mas’ud r.a. dan di dalamnya terdapat Jabir al Ju’fi dan ia adalah dha’if.

Thabrani mengeluarkan Hadits dalam al Kabir dari Ibnu Mas’ud r.a., ia berkata, “Tidaklah suatu tahun kecuali sesudahnya lebih buruk dari tahun sebelumnya dan tidak lebih baik dari tahun sebelumnya dan tidak ada umat yang lebih baik dari umat sebelumnya, selain kematian Ulama dan orang-orang pilihan di antara kalian, sehingga suatu kaum akan mengkiaskan suatu perkara dengan pemikiran mereka sehingga hancur dan terpecahlah Islam.”

Al Haitsami (1/180) berkata bahwa di dalamnya terdapat Mujahid bin Sa’id dan ia telah ikut berbaur.
Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Ilmi (2/136) mengeluarkan hadits dari Ibnu Abbas r.a. behwa ia berkata, “Pastikan itu adalah Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Barangsiapa yang berkata setelah itu dengan pendapatnya sendiri, maka aku tidak tahu apakah ia dalam kebaikan atau dalam keburukan.”
Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Ilmi (2/33) mengeluarkan hadits dari Atha’ dari Ayahnya, ia berkata, “Sebagian sahabat Nabi ditanya tentang sesuatu maka ia menjawab, “Sesungguhnya aku malu kepada Rabbku untuk mengatakan tentang masalah umat Muhammad saw. dengan pendapatku sendiri.”
Dikutip dari Kitab Hayatush Shahabah Terjemahan Jilid 3 hal. 340-341, Penerbit Pustaka Ramadhan